UNBOR - Yudi Wira B. - Kajian akademik & Yuridis Hukum Lingkungan di Indonesia
YUDI WIRA BANGSAWAN
10790087
Mahasiswa FH Universitas Borobudur Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Lingkungan Hidup di Indonesia menyangkut
tanah, air, dan udara dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semua media
lingkungan hidup tersebut merupakan wadah tempat kita tinggal, hidup serta
bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat, akan melahirkan generasi manusia
Indonesia saat ini serta generasi akan datang yang sehat dan dinamis.
Pembangunan industri, eksploitasi hutan
serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas akibat pembangunan yang terus
berkembang, memberikan dampak samping. Dampak samping tersebut berakibat pada
tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk kebutuhan hidup maupun
udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara tersebut pada akhirnya
tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan yang layak untuk kita
gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup telah terjadi. Pencemaran lingkungan hidup, bukan hanya
akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang ada sekarang namun juga
akan mengancam kelangsungan hidup anak cucu kita kelak. Oleh karena itu baik
masyarakat, maupun pemerintah berhak dan wajib untuk melindungi lingkungan
hidup. Masyarakat diharapkan secara aktif dapat berperan serta aktif dalam
pelestrian lingkungan sedangkan pemerintah berupaya dengan memberikan
perlindungan bagi lingkungan hidup negaranya dan masyarakat yang tinggal dalam
lingkungan hidup negaranya melalui berbagai peraturan perundang-undangan.
UU Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997
adalah suatu produk pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup
sekaligus memberi perlindungan hukum bagi masyarakat agar selalu dapat terus
hidup dalam lingkungan hidup yang sehat. Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka
penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan, dan dalm
penegakan hokum lingkungan ada istilah tanggung jawab mutlak atau strict
liability bagi pelaku pencemaran lingkungan dengan ketentuan tertentu.
1.2 Pokok Permasalah
Bagaimana
Sistem regulasi lingkungan
hidup di Indonesia?
Bagaimana pelaksanaan prinsip tanggung
jawab mutlak strict liability?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 UU Lingkungan Hidup.
Pada 11
Maret 1982, diundangkan sebuah produk hukum mengenai pengelolaan lingkungan,
dengan nama Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering disingkat dengan UUPLH. Dengan hadirnya UU
Lingkungan ini, terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di
Indonesia, guna terciptanya pengendalian kondisi lingkungan yang memiliki
harmoni yang baik dengan dimensi-dimensi pembangunan.
UU No 4
Tahun 1982, mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan
pelaksanaannya. Dengan demikian, UU ini berfungsi sebagai ketentuan payung
(umbrella provision) bagi peraturan perundangan lingkungan hidup lainnya,
termasuk pula menjadi dasar dan landasan bagi pembaruan hukum dan penyesuaian
peraturan-peraturan perundangan yang sudah lama (Danusaputro, 1982:25).
Kemudian,
dengan banyaknya pekembangan mengenai konsep dan pemikiran mengenai masalah
lingkungan, dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai masyarakat dunia melalui
KTT Rio tahun 1992, dirasakan UU No 4 Tahun 1982 sudah tidak banyak iagi
menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada, sehingga perlu ditinjau dengan membuat
penggantinya. Untuk itulah lima tahun kemudian setelah berlangsungnya KTT Rio,
dibuat UUPLH yang baru sebagai pengganti UU No 4 Tahun 1982, yakni UU No 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal 19
September 1997 melalui Lembaran Negara No 68 Tahun 1997.
UUPLH
baru atau UU No 23 Tahun 1997 memuat berbagai pengaturan sebagai respons
terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang yang tidak mampu diatasi melalui UU
No 4 Tahun 1982. Demikian juga UU baru ini dimaksudkan untuk menyerap
nilai-nilai yang bersifat keterbukaan, paradigma pengawasan masyarakat asas
pengelolaan dan kekuasaan Negara berbasis kepentingan publik (bottom-up), akses
publik terhadap manfaat sumber daya alam, dan keadilan lingkungan
(environmental justice).
UUPLH
menjadi dasar bagi semua pengelolaan lingkungan. Dengan demikian berbagai
pengaturan mengenai pengelolaan lingkungan, mengacu kepada UUPLH.
Permasalahannya, bagaimana dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat
teknis yang telah ada UU-nya tersendiri. Misalnya dibidang pertanahan ada UUPA
No. 5 Tahun 1960, di bidang air ada UU No. 7 Tahun 2004, di bidang penataan
ruang ada UU No. 26 Tahun 2007, di bidang kehutanan, ada UU No. 41 Tahun 1999,
dan lain-lain.
Semua
peraturan perundang-undangan tersebut harus memiliki sinkronisasi dan tidak
tumpang tindih. Pada legislasi nasional telah mencegah keadaan tumpang tindih
berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Namun apabila masih tetap terjadi keadaan-keadaan seperti
kesenjangan peraturan, tumpang tindih, penafsiran ganda, dan lain-lain, dapat
diatasi dengan berpedoman kepada asas-asas:
1. Lex
specialis derogat legi generalis, yakni mengutamakan undang undang khusus
2. Lex
superiors derogat legi inferiors, dengan mengutamakan UU/ Peraturan yang lebih
tinggi;
3. Lex
posteriori derogat legi priori, yakni menggunakan UU/Ketentuan yang lebih baru
dan mengenyampingkan UU/Ketentuan yang terdahulu.
UU No
23 Tabun 1997, memang belum berperan maksimal sebagai dasar menangani masalah
lingkungan dalam hubungannya dengan pembangunan. Demikian pula dengan
konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi Rio, belum banyak yang diserap
sebagai instrumen hukum dan kebijakan menata lingkungan. Namun dari segi
landasan hukum, UU ini dapat dikatakan sudah cukup lebih baik dari UU
sebelumnya.
Berbagai
aspek penanganan lingkungan di Indonesia masih terus dilakukan. Penanganannya
terutama dengan pelaksanaan prinsip-prinsip UUPLH, di samping
mengimplementasikan perkembangan-perkembangan yang bersifat global, seperti
hasil-hasil KTT Rio 1992, KTT Johannesburg 2002, dan berbagai konvensi
internasional mengenai aspek lingkungan. Ratifikasi telah dilakukan atas
berbagai konvensi internasional, baik yang dihasilkan oleh KTT Rio maupun
konvensi lain, sebagai langkah untuk memudahkan pelaksanaan kebijakan
lingkungan di Indonesia.
Agenda
21 KTT Rio sudah diimplementasikan dalam Agenda 21 Indonesia atau Agenda 21
Nasional sebagai sarana inspirasi pada rencana pembangunan. Agenda 21 Nasional
kemudian diimplementasi pada Agenda 21 Propinsi dan Agenda 21 Kabupaten/Kota
yang mencakup semua bidang untuk dikerangkakan kepada perencanaan daerah
masing-masing.
2.2 Penegakan Hukum Lingkungan
Pembangunan disamping memberikan dampak
positif berupa kesejahteraan, namun disisi yang lain juga menimbulkan dampak
negatif yaitu terjadinya kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Gagasan
hukum pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup menjadi kata
kunci (key word) dalam pengelolaan lingkungan hidup yang mengintegrasikan
pertimbangan lingkungan hidup dalam proses pembangunan. Oleh karena itu,
apabila terjadi penurunan fungsi lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau
pencemaran lingkugan hidup, maka serangkain kegiatan penegakan hukum (law
enforcement) harus dilakukan, dengan tujuan tidak hanya sekedar menjatuhkan
sanksi kepada perusak atau pencemar lingkungan, tetapi tujuan yang paling
pokoknya dalah untuk memulihkan kemampuan
lingkungan hidup tersebut dan berupaya meningkatkan kuaitasnya.
Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat
dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum
lingkungan. Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory
chain) perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Penegakan
hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and
enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum
perdata dan bidang hukum pidana.
1.
Penegakkan
hukum lingkungan administratif, dimulai dengan mekanisme pengawasan yang
dilakukan oleh MENLH/pejabat yang ditunjuk MENLH, atau oleh Kepala
Daerah/pejabat yang ditunjuk Kepala Daerah terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup seperti
persyaratan izin, BML dll, sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 22-24 UUPLH.
Ada beberapa sanksi administrasi dalam Pasal 25-27 UUPLH yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku usaha dan/atau kegiatan. Pertama, paksaan pemerintahan (bestuursdwang)
untuk mencegah dan mengakiri terjadinya pelanggaran, atas beban biaya
penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang wewenangnya ada pada Gubernur atau
Bupati/Walikota. Kedua, terhadap pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
2.
Penyelesaian
secara perdata atas gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup,
dapat ditempuh melalui mekanisme ADR/diluar pengadilan) maupun di dalam
pengadilan (Pasal 30 UUPLH) oleh masyarakat secara perorangan atau melalui
gugatan perwakilan (class action), dan NGO serta instansi pemerintah yang
bertanggung jawab dibidang
pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 34, 35, 37 dan 38 UUPLH) untuk mewakili kepentingan
masyarakat dan lingkungan hidup atas ganti kerugian dan pemulihan lingkungan
hidup. Terdapat perbedaan mendasar antara penyelesaian secara perdata yang
terdapat dalam Pasal 34 dan 35 UUPLH. Pasal 34 ayat (1) UULH-97 menentukan dua
kategori perbuatan melanggar hukum yaitu pencemaran lingkungan hidup (dalam
arti turunnya kualitas lingkungan hidup: lihat Pasal 1 angka 12 UUPLH) dan
perusakan lingkungan hidup (dalam arti lingkungan hidup tidak berfungsi lagi:
lihat Pasal 1 angka 14 UUPLH), yang dapat menjadi alasan hukum untuk menuntut
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu (memulihkan fungsi lingkungan
hidup) kepada penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
3.
UUPLH
menempatkan penerapan sanksi pidana sebagai upaya yang terakhir (ultimum
remedium). Dalam penjelasan umum UUPLH terkandung suatu prinsip yang dikenal
yaitu primary jurisdiction atau disebut sebagai asas subsidiaritas. Asas ini
menegaskan bahwa hukum pidana baru dapat digunakan apabila: a) sanksi bidang
hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif
penyelesaian sengketa lingkungan tidak efektif; b) tingkat kesalahan pelaku
relatif berat; dan c) menimbulkan keresahan masyarakat. Hal ini berarti bahwa
sarana hukum lain harus dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum diambil tindakan
secara pidana atau diterapkannya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
40-47 UUPLH.
2.3 Pelaksanaan Prinsip
Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Apapun sarana hukum yang dipilih untuk
menyelesaikan sengketa lingkungan, yang penting ada dua hal yang perlu untuk
dibuktikan. Pertama, adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
dalam arti hukum (dalam hal ini perlu dilakukan pengujian limbah terhadap
ketentuan BML apakah masih berada dalam batas-batas BML/tidak). Kedua, adanya
hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
dengan penderitaan masyarakat dan/ atau rusaknya kualitas lingkungan hidup.
Membuktikan kedua hal tersebut tidaklah
mudah. Diperlukan keterangan ahli dari berbagai disipilin ilmu (lingkungan,
biologi, kimia, medis, ekonomi, hukum dll), sampel hukum dan laboratorium
hukum. Keterlibatan para ahli akan sangat membantu untuk proses pembuktian
ilmiah (scientific evidence) dan untuk menghitung kerugian masyarakat dan
tingkat kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, sehingga dapat ditentukan berapa
biaya yang harus ditanggung oleh penanggung jawab usaha/kegiatan untuk mengganti kerugian masyarakat dan untuk
memulihkan lingkungan hidup.
Pasal 34 tidak menunjuk kepada sistem
pertanggung jawaban tertentu,
maka untuk itu kandungan Pasal 34 ini dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 BW
sebagai bentuk pertanggung jawaban
atas perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatigedaad). Pasal 1365 BW ini menganut
prinsip tanggung jawab berdasarkan
kesalahan (liability based on fault), tanpa adanya kesalahan, maka tidak akan
timbul dasar untuk menuntut kerugian (NHT.Siahaan:2004:310-311).
Beban pembuktian untuk membuktikan adanya
unsur kesalahan tersebut menurut Pasal 1865 BW merupakan kewajiban penggugat.
Membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah, bahkan lebih menyulitkan karena
harus lebih dahulu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) antara
perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan kerugian dari si
penderita.
Dibutuhkan penjelasan yang bersifat
ilmiah, teknis dan khusus untuk membuktikan hubungan kausal tersebut. Sehingga
penerapan sistem pertanggung jawaban
yang bersifat biasa tidaklah mencerminkan rasa keadilan. Kelemahan Pasal 34
tersebut, sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan ketentuan Pasal 35 ayat
(1) UUPLH yang mengatur tentang tanggung jawab mutlak (strict liability) atas kegiatan yang menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, menggunakan B3 dan/ atau
menghasilkan limbah B3.
Berdasarkan Pasal 35 UUPLH tersebut,
terdapat tiga kriteria bagi jenis kegiatan/usaha yang tunduk pada prinsip
tanggungjawab mutlak, yaitu jenis kegiatan yang wajib Amdal, yang menggunakan B3
dan yang menghasilkan limbah B3 (Daud Silalahi:2001:45). Dalam penjelasan Pasal
35 ayat (1) dinyatakan bahwa tanggungjwab mutlak (strict liability) berarti
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti kerugian (liability without fault/tanggungjawab tanpa
kesalahan) dan ketentuan pasal ini merupakan lex specialis dalam gugatan
tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya didasarkan pada Pasal 1365 BW.
Hal ini berarti pihak tergugatlah yang
harus membuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang diderita oleh penggugat dan
lingkungan hidup. Pasal 35 ayat (2) memberikan pengecualian penerapan prinsip
tanggung jawab mutlak bilamana
dapat dibuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan lingkungan disebabkan oleh
bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan
manusia; atau akibat tindakan pihak ketiga.
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkan dengan kewajiban menbayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
yang dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi, jika yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa pencemaran dan atau pencemaran lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan ialah adanya bencana alam atau
peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, atau adanya
tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau
pengrusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan
oleh pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut bertanggung jawab membayar ganti rugi.
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak
atau strict liability yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ini merupakan lex spesialis dalam gugatan tentang
perbuatan melanggar hukum
pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan
hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud sampai batas
tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan kegiatan yang bersangkutan atau
telah tersedian dana lingkungan hidup
Pencemaran lingkungan hidup yang diatur
dalam pasal 1 ayat 12 UU no 23 tahun 1997 ( Pencemaran lingkungan hidup adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya ) mempunyai pengertian luas dan berusaha
menjaring perbuatan-perbuatan yang merusak tatanan lingkungan. Peraturan
penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup apabila akan diruangkan kedalam
bentuk undang-undang cara pengaturannya harus mengandung makna preventive dan
revresif. Secara filsafat bahwa pengelolaan lingkungan hidup itu supaya dapat
dinikmati oleh manusia pada generasi masa kini dan masa depan, maka ketentuan
perlindungan terhadap masalah lingkungan hidup termasuk pula mencakup
perlindungan korban dari pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan pasal 34 tentang ganti rugi,
dan pasal 35 tentang tanggung jawab mutlak pada UU no 23 tahun 1997, mencakup
dua segi perlindungan, yaitu:
1.
Perlindungan
korban yang diderita perorangan
2.
Perlindungan
terhadap Negara yang menjadi korban pencemaran atau pengrusakan lingkungan hidup.
Ganti rugi terhadap korban dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1.
Ganti rugi yang diberikan kepada korban yang
dibayar oleh pihak yang menyelenggarakan usaha dan kegiatan lingkungan
tersebut.
2.
Ganti
rugi yang diberikan kepada Negara dalam ujud melakukan tindakan hukum tertentu sesuai dengan perintah hukum yang ditetapkan oleh hakim.
Bentuk dan jenis kerugian akibat
pengrusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya kerugian dilakukan oleh tim
yang dibentuk oleh pemerintah. Masalah ganti rugi dengan melalui penelitian yang menyangkut aspek budaya, tentunya
dapat masuk dalam ruang lingkup ganti rugi menurut hukum adat setempat. Hal ini mendasari
adanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 22 November 1958 (Reg. No.212 K/S.i.p/1958) yang memutuskan
ganti rugi menurut hukum
adat (DPM.Sitompul, 1989:35)
“…bahwa menurut hukum adat di Jawa Timur
setiap sebab yang menimbulkan kerugian …. Mewajibkan orang yang bersalah
tentang timbulnya kerugian itu untuk membayar penggantian kerugian atau untuk memperbaiki
kerugian itu”
Keputusan MA RI tanggal 22 November 1958
tersebut, hamper sama dengan teori Middendorff tentang hal-hal yang harus
dipertimbangkan hakim dalam memutuskan suatu erkara. Middendorff memberikan
teori sebagai berikut:
”… hakim harus mempertimbangkan
pertama-tama kejahatan tersebut, kedua kepribadian si pelaku, ketiga daya guna
dari pidana, dan keempat segi-segi yang menyangkut korban …”
Dengan adanya pertimbangan dari hakim
tentang segi-segi yang menyangkut masalah korban, diharapkan ganti rugi dalam
pasal 34 UU no 23 tahun 1997 dapat melindungi korban dari pengrusakan atau pencemaran lingkungan
hidup.
Pasal
34 UU no 23 tahun 1997 tentang ganti rugi
1.
Setiap
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
2.
Selain
pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut
Pasal
35 UU no 23 tahun 1997 tanggung jawab mutlak tentang
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau
menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara
mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi
secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
1.
Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan
salah satu alasan di bawah ini:
a)
adanya
bencana alam atau peperangan; atau
b)
adanya
keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c)
adanya
tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
2.
Dalam
hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung
jawab membayar ganti rugi.
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Prinsip pertanggung jawaban mutlak (strict
Liability) merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah
berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands
v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris
melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan
sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat
non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya.
Pertanggung jawaban hukum konvensional
selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (liability based on
fault), artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada
dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin
tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak
mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang
mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya
berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common
law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk
mengadopsinya.
Beberapa negara yang menganut asas ini
antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. Di Indonesia asas ini dimuat
dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
pasal ini pengertian tanggung jawab
mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh
pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana besarnya ganti
kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup
menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
UUPLH baru atau UU No 23 Tahun 1997 memuat
berbagai pengaturan sebagai respons terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang
yang tidak mampu diatasi melalui UU No 4 Tahun 1982. Demikian juga UU baru ini
dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai yang bersifat keterbukaan, paradigma
pengawasan masyarakat asas pengelolaan dan kekuasaan Negara berbasis
kepentingan publik (bottom-up), akses publik terhadap manfaat sumber daya alam,
dan keadilan lingkungan (environmental justice). UUPLH menjadi dasar bagi semua
pengelolaan lingkungan. Dengan demikian berbagai pengaturan mengenai
pengelolaan lingkungan, mengacu kepada UUPLH. Permasalahannya, bagaimana dengan
peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis yang telah ada UU-nya
tersendiri. Misalnya dibidang pertanahan ada UUPA No. 5 Tahun 1960, di bidang
air ada UU No. 7 Tahun 2004, di bidang penataan ruang ada UU No. 26 Tahun 2007,
di bidang kehutanan, ada UU No. 41 Tahun 1999, dan lain-lain.
UU No 23 Tabun 1997, memang belum berperan
maksimal sebagai dasar menangani masalah lingkungan dalam hubungannya dengan
pembangunan. Demikian pula dengan konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi
Rio, belum banyak yang diserap sebagai instrumen hukum dan kebijakan menata
lingkungan. Namun dari segi landasan hukum, UU ini dapat dikatakan sudah cukup
lebih baik dari UU sebelumnya.
4.2
SARAN
Pada dasarnya kehidupan ini selaras
seimbang antara segala sesuatu yang ada didalamnya, yaitu makhluk hidup ada
manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua benda mati yang dapat dimanfaatkan dan
mempunyai peran dalam kehidupan ini. Yang membuat lingkungan rusak dan tidak
tertata lagi selain sang pencipta adalah masalah siapa yang menduduki dan
menjadi pemimpin di atas kehidupan
lingkungan ini tiada lain yakni manusia. Kalau lingkungan mau stabil berarti
manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik
individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya. Lingkungan dan
Kependudukan bisa selaras apabila satu
sama lain bisa seimbang.Lingkungan akan menjadi bumerang bila, kita tidak bisa
mengelolanya dengan baik. Apalagi kalau sudah terjadi bencana alam maka
lingkungan akan mengancam keselamatan kita.
Melestarikan lingkungan merupakan
kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di
bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk
menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya
bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan
kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan
lingkungan ditindak lanjuti dengan
menyusun program pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai
pembangunan berwawasan lingkungan. Dalam kesempatan kali ini penulis berharap
dan memberikan saran agar kita selaku
makhluk yang mendiami lingkungan harus bisa menjaga keseimbangan dan
keselarasan lingkungan sendiri tidak perlu disuruh dan diperintah. Mulailah
dari sekarang, dari hal yang terkecil, mulai dari diri kita masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Indonesia.
Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No 23 Tahun 1997.
2.
Sunarso,
Siswanto, 2005. Hukum Pidana lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian
Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta
3.
http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/07/27/penegakkan-hukum-lingkungan-dan-pembangunan-berkelanjutan/
4.
http://www.kejaksaan.go.id/uplimg/LINGKUNGAN%20HIDUP%20V.ppt
Komentar
Posting Komentar