UMJ : Tugas Psikologi Pendidikan
Bahan Ajar 9
Kontribusi Psikologi
Pendidikan Terhadap Dunia Pendidikan
Sebagai
Tugas Psikologi Pendidikan
A. Kontribusi
Psikologi Pendidikan Terhadap Pengembangan Kurikulum
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah
sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang
besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem
pembelajaran dan sistem penilaian.
Kajian psikologi pendidikan dalam
kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan
pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari
berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian
psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana input, proses dan output
pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan
kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan
individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan
kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu,
baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi,
perasaan serta karakteristik-karakteristik individu lainnya. Kurikulum
pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk
dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject
matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan
di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum
berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara
konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan
sesuatu. Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi,
kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek:
1. Kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks;
2. Pengalaman belajar siswa;
3. Hasil belajar (learning outcomes), dan
4. Standarisasi kemampuan siswa
B. Kontribusi
Psikologi Pendidikan Terhadap Sistem Pembelajara
Kajian psikologi pendidikan telah
melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal
adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti: teori classical
conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori
kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang
menyertai kelemahan dari masing-masing teori tersebut, pada kenyataannya
teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses
pembelajaran.
Psikologi pendidikan telah melahirkan
pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution
(Daeng Sudirwo, 2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni:
1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan.
2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan
kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam
kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga
baginya.
4. Belajar itu
harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai,
diperolehnya pula hasil sambilan.
6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau
melakukan.
7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya
aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan
sebagainya.
8. Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari
orang lain.
9. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang
dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta
lepas secara verbalistis.
10. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya,
seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
11. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi
sukses yang menyenangkan.
12. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus
didahului oleh pemahaman.
13. Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat
untuk belajar.
C. Kontribusi
Psikologi Pendidikan Terhadap Sistem Penilaian
Penilaian
pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami
seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melalui kajian psikologis kita
dapat memahami pengembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik
setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Kajian
psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi
yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya
berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun
kepribadian individu lainnya. Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat
ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti
Multiple Aptitude Test (MAT), Differential Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat
ukur lainnya. Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya
melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan
proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat
dicapai perkembangan individu yang optimal. Oleh karena itu, betapa pentingnya
penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas
profesionalnya
D. Kontribusi
Kelas Berpola Psikologi (Memahami Penyimpangan Dalam Kelas)
Dalam
pandangan psikologi, untuk menjelaskan apakah seorang individu menunjukkan perilaku
abnormal dapat dilihat dari tiga kriteria berikut:
1. Kriteria Statistik
Seorang
individu dikatakan berperilaku abnormal apabila menunjukkan karakteristik
perilaku yang tidak lazim alias menyimpang secara signifikan dari rata-rata.
Dilihat dalam kurve distribusi normal (kurve Bell), jika seorang individu yang
menunjukkan karakteristik perilaku berada pada wilayah ekstrim kiri (-) maupun
kanan (+), melampaui nilai dua simpangan baku, bisa digolongkan ke dalam
perilaku abnormal.
2. Kriteria Norma
Perilaku
individu banyak ditentukan oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat,
ekspektasi kultural tentang benar-salah suatu tindakan, yang bersumber dari
ajaran agama maupun kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, misalkan dalam
berpakaian, berbicara, bergaul, dan berbagai kehidupan lainnya. Apabila seorang
individu kerapkali menunjukkan perilaku yang melanggar terhadap aturan tak
tertulis ini bisa dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal.
3. Kriteria Patologis
Seorang
individu dikatakan berperilaku abnormal apabila berdasarkan pertimbangan dan
pemeriksaan psikologis dari ahli menunjukkan adanya kelainan atau gangguan
mental (mental disorder), seperti: psikopat, psikotik, skizoprenia,
psikoneurotik dan berbagai bentuk kelainan psikologis lainnya.
Kriteria
yang pertama (statistik) dan kedua (norma) pada dasarnya bisa dideteksi oleh
orang awam, tetapi kriteria yang ketiga (patologis) hanya bisa dilakukan oleh
orang yang benar-benar memiliki keahlian di bidangnya, misalnya oleh psikolog
atau psikiater.
Ketiga
kriteria tersebut tidak selamanya berjalan paralel sehingga untuk menentukan
apakah seseorang individu berperilaku abnormal atau tidak seringkali menjadi
kontroversi. Misalkan, seorang yang melakukan sex bebas. Di Indonesia, perilaku
sex bebas bisa dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal, karena tidak sesuai
dengan norma-norma dan nilai-nilai yang disepakati dan juga tidak dilakukan
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi di Swedia dan beberapa negara
Barat lainnya bisa dianggap sebagai bentuk perilaku normal, karena masyarakat
di sana mengijinkannya (permisif) dan sebagian besar masyarakat di sana
melakukan tindakan sex bebas. Sementara, menurut kriteria patologis pun mungkin
saja tidak akan dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal selama yang
bersangkutan masih mampu menunjukkan orientasi dan objek sexual yang normal
alias tidak mengalami psikosexual neurosis. Bagaimana dengan perilaku korupsi
di Indonesia? Silahkan saja berikan komentar Anda!
Komentar
Posting Komentar