Penyelenggaraan Pemerintahan DKI Jakarta




PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DKI JAKARTA
DALAM PERSPEKTIF 
KETENTUAN HUKUM YANG MENDASARINYA

Oleh Koesnan A. Halim*


ABSTRACK

Perjalanan panjang sejarah perkembangan pemerintahan daerah secara umum, dan  khususnya sejarah pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dapat diamati dari dasar hukum penyelenggaraannya. Sejarah perkembangan dasar hukum penyelenggaran pemerintahan daerah di Indonesia  dapat dimulai sejak Staten General (Parlemen Kerajaan Belanda) rnenetapkan Regerings Reglement (RR) tahun 1854, yaitu semacam UUD bagi Hindia Belanda yang mengatur sistem pemerintahan daerah secara sentralistis.
Berdasarkan RR 1854 tersebut kemudian Pemerintah Negara Belanda bersama Staten General  menerbitkan UU Desentralisasi (Desentralisatie Wet) pada tahun 1903. Berikutnya adalah diberlakukannya kebijakan "Bestuurhenrorming" tahun 1922 yang memperluas desentralisasi pemerintahan masa itu antara lain menjamin hak rakyat untuk ikut bersuara dalam pemerintahan. Gubernur General atau Pemerintah Pusat rnenyerahkan banyak kewenangan kepada Pemerintah daerah atau Gewest.
Hari kemenangan Faletehan pada tanggal 22 Juni 1527 saat merebut bandar Sunda Kelapa ditandai sebagai hari jadi kota Jakarta. Oleh Falatehan nama Sunda Kelapa kemudian diganti menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan akhir. Sejak itu, terbuka kesempatan E.I.C. (Serikat Dagang Inggris) dan V.O.C. (Serikat Dagang Belanda) untuk mengadakan hubungan dagang dengan Jayakarta. Kedua serikat dagang tersebut rnendirikan kantor dagang yang saling berhadapan di tepian sisi kali Ciliwung. Mereka saling bersaing dan pada akhirnya manjadi perang terbuka yang memaksa E.I.C. meninggaikan Jayakarta dan VOC mernonopoli dagang, tidak hanya di Jayakarta tetapi kemudian juga di seluruh Nusantara. Berawal dari kepentingan dagang ini kemudian rnernbawa akibat kolonialisme Belanda terhadap Indonesia.
Jan Pieterson Coen, seorang tokoh V.O.C mengerti apa arti dan peranan Jayakarta dalarn konstalasi strategis Nusantara, baik untuk kepentingan politik maupun perdagangan Belanda. Setelah lebih dahulu rnembakar habis perkampungan sekitar muara kali Ciliwung, Coen mendirikan loji yang di samping berfungsi sebagai kantor dagang, juga rnenjadi perbentengan yang diberi nama Batavia - untuk rnengenang tempat kelahiran Bataviaren di Negeri Belanda. Sejak itu, kecuali pada seluruh Nusantara dikuasai Belanda, dan diperintah dari Batavia.  Pemerintah kota Jakarta pertarna kali dibentuk oleh Belanda pada tanggal 18 Agustus 1602 dengan nama Kabupaten Kota Batavia (Regentschap Stad Batavia).
Pamerintahan kota Jakarla pada masa pendudukan Jepang dirubah dan tata pernerintahan yang tadinya hanya merupakan badan pengurus rumah tangga saja, menjadi pemerintahan kota yang menyelenggarakan segala urusan pemerintahan. Pamerintah Kota Jakarta yang disebut Jakaruta Tokubetsu Shi, dipimpin oleh Shityo yang dibantu oleh baberapa zyeyaku (wakil kepaia) tanpa adanya Dewan.
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, sekurang-kurangnya terdapat 16 peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Yang menjadi dasar hukum dari hampir keseluruhan UU tentang Pemerintahan daerah adalah konstitusi UUD RI Tahun 1945, khususnya pasal 18 yang menetapkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil.  Berdasarkan ketentuan tersebut maka pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) rnenetapkan pembagian daerah RI dalam 8 Provinsi yang masing-masing dibagi dalam Keresidenan. Berikutnya UU yang mengatur pemerintahan daerah adalah antara lain UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22/1948, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974,  UU No. 22 Tahun 1999, UU No, 32 Tahun 2004 dan terakhir UU No. 23 Tahun 2014.
Sementara itu UU yang mengatur Ibukota Negara, disamping tetap tunduk kepada UU yang mengatur pemerintahan daerah secara nasional adalah dimulai dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 Tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Kemudian berturut-turut UU No. 10/1964, UU No. 11/1990, UU No. 34/1999, dan terakhir UU No. 29/2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Dki Jakarta Sebagai Ibukota Negara.


DASAR HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH
SEBELUM KEMERDEKAAN

Regerings Reglement (RR) 1854


Pada tahun 1854 Staten General (Parlemen Kerajaan Belanda) telah rnenetapkan Regerings Reglement (RR), semacam UUD bagi Indonesia pada masa penjajahan yang mengatur sistem pemerintahan secara sentralistis. Sebagai daerah jajahan yang harus menguntungkan bagi kerajaan Belanda, maka ditetapkan bahwa segala urusan pemerintahan di daerah jajahan Indonesia harus dipegang oleh Gubernur Jenderal yang berpusat di Bogor atau di tangan pejabat-pejabat Hindia Belanda yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Sistem pemerintahan jajahan Indonesia disusun sedernikian rupa sehingga segala urusan pemerintahan dikerjakan dan diatur oleh pegawai-pegawai pernerintah Hindia Belanda yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal yang berlindak selaku wakil Kerajaan Belanda.
Pelaksanaan sistern pemerintahan sentralistis dalam suatu daerah yang sangat luas (13.500 buah pulau besar dan kecil) telah mengakibatkan terbengkalainya urusan-urusan pemerintahan, terutama yang jauh dari pusat pernerintahan (di Bogor) dan telah pula menyuburkan tumbuhnya birokrasi pemerintahan yang buruk. Sebagai pengecualian ialah bahwa daerah-daerah yang berbentuk swapraja dan desa diperbolehkan melanjutkan sistem pernerintahannya berdasarkan hukurn adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pemerintahan Hindia Belanda.

Decentralitatie Wet 1903


Tahun 1903 Pemerintah Negara Belanda beserta Staten General memberlakukan UU Desentralisasi (Desentralisatie Wet). Dengan UU ini Pemerintah Belanda memberi kepada Pemerintah Daerah hak Otonomi (hak untuk mengurus keperluan dan menyusun peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfbestuur (membantu menjalankan peraturan-peraturan dari atas). Termasuk didalamnya adalah hak  untuk menyusun dan menggunakan anggaran pendapatan dan Daerah. Pemerintah Daerah diberi hak untuk memiliki suatu Dewan (Raad) yang anggotanya dipilih oleh rakyat daerah. Dewan ini dikepalai oleh seorang pegawai pemerintah.
Sebagai tindak lanjut Desentralitatie Wet 1903 telah ditetapkan Koninklijk Besluit yang disebut Desentralisatie Besluit 1904. Kemudian pada tahun 1905, Governor General menetapkan Ordonnantie yang mengatur Dewan Daerah/Dewan Perwakilan (locale Raden) atau Locale Raden Ordonnantie. Menurut ketentuan ini terdapat  3 jenis Locale Raden yaitu Gewestelijke Raden (Dewan untuk Gewest yang dikepalai oleh Gubernur/ Resident); Plaatselijke Raden (Dewan untuk suatu tempat tertentu); dan Gemeente Raad (Dewan untuk suatu kotapraja). Diantara 3 Dewan ini, Gemeente Raad adalah yang banyak berhasil dan mendapat perhatian.
Sebelurn Decentralitatie Wet 1903 sistem pemerintahan daerah  Hindia Belanda bersifat sentralistis. Pada waktu itu daerah-daerah administratif dinamakan:
1.      Gewest dpimpin oleh Gouverneur atau Resident;
2.      Afdeling dipimpin oleh Assisten Resident;
3.      Onderafdeling Regentschap dipimpin oleh Controleur;
4.      Distrikt dipimpin oelh Kepala Distrik;
5.      Onderdistrict dipimpin oleh camat.
Tahun 1905, dibentuk Kota-kota dengan lembaga pernerintahan daerah yang berhak mengatur dan rnengurus rumah tangga daerahnya sendiri diantaranya adalah "Pemerintahan Stad Batavia", kamudian berganti sebutan menjadi "Gemeente Batavia" dan akhirnya rnanjadi "Stads Gemeente Batavia".
Pada tahun 1930, Gubernur Jenderal Van den Bosch membentuk lingkaran Garis Pertahanan Van Den Bosch (Defensievlijn v/d Bosch) yang disebut Weltevreden, yakni di wilayah sekitar Gambir, sebagai pusat pemerintahan Kolonial Belanda. Pusat ini kemudian menjadi poros lingkaran konsentris perkernbangan wilayah Jakarta (sekarang: daerah Menteng, Gondangdia, M enteng Pulo, Gunung Sahari dan Kemayoran. Untuk wilayah Jatinegara yang kita kenal sekarang, dibentuk Sradsgemeente Meester Cornelis.

Bestuurherforming Wet 1922


Pada tahun 1913 diadakan perubahan pasal  68 RR atas usul Menteri Idenburg (Menteri yang mengurus negara jajahan) kepada Parlemen Belanda berkaitan dengan Decentralisatiewet 1903 yang tidak memuaskan maka diterbitkan UU tanggal 6 Februari 1922 Statsblad 1922 No. 216 tentang Wet op de Bestuurshervorming yang memberi kemungkinan dilaksanakannya dekonsentrasi dan desentralisasi pemerintahan  secara besar-besaran. Kebijakan ini disebut Bestuurhenrorming tahun 1922. Pemerintah Pusat rnenyerahkan banyak hak hak dan kekuasaan kepada Pemerintah daerah (Gewest).
Gewest-Gewest yang dahulu dibawah Residen diubah menjali Provinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur yang berhubungan langsung dengan Gubernur Jenderal.  Gubernur merangkap sebagai wakil pemerintah pusat disamping mengurus kepentingan Daerahnya. Provinsi dibagi dalam Residentie yang dikepalai oleh seorang Residen. Dalam tiap-tiap Residen terdapat beberapa Regenschap yang dikepalai oleh seorang Regent. Pemerintahan berangsur-angsur mendekati azas desentralisasi dan kewenangan Pamong Pribumi juga sedikit demi sedikit menyamai kewenangan Pamong Belanda. Pamong Indonesia itu adalah Regent, Patih, Wedana, dan Asisten Wedana.
Pemerintah Belanda barusaha memasukkan sistem hukum yang barlaku di Barat dalam tata pemerintahan kota di samping juga memanfaatkan lernbaga-lambaga tradisionil. Terjadi dualisrne sistem penyelenggaran pemerintahan yaitu disatu pihak kawasan perkotaan diperintah secara langsung berdasarkan hukurn Barat sedang di pihak lain kawasan pedesaan secara tldak langsung memperalat penguasa setempat yang diperintah berdasarkan hukum adat.
Dengan terdapatnya kepentingan langsung Belanda terhadap kehidupan kota, rnaka pembinaan kota lebih diutarnakan, khususnya dalarn penyediaan prasarana dan fasilitas kota. Di kala itu prasarana dan fasilitas kota Jakarta telah direncanakan untuk jurnlah penduduk antara 600,000 sarnpai 800.000 jiwa. Di antara pembinaan fasilitas kota tersebut terdapat usana membebaskan Jakarta dari banjir, di mana Prof. Ir. Van Breen rnengembangkan konsep penggalian banjir kanal untuk mengendalikan aliran kali Ciliwung.

Pendudukan Jepang Tahun 1943


Pemerintahan kota Jakarta pada waktu itu disebut "Jakaruta Tokubetsu Shi" dan pada September 1943 dibentuk Dewan yang hanya berfungsi sebagai Badan Penasehat. Dengan menyerahnya Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945 ke tangan sekutu, dimulailah babakan baru dalarn lintasan sejarah pemerintahan kota Jakarta. Saat proklamasi dibacakan, pemerintahan Jakarta masih berada di bawah pimpinan Hasegawa, Shityo (Kepala Pemerintahan Militer) dari Jakaruta Tokubetsu Shi. Hasegawa tidak meletakkan jabatan, tetapi roda pemerintahan dijalankan oleh Soewirjo yang saat itu menjabat sebagai wakil I (Joyaku I). Dengan dasar Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Soewirjo membentuk Pemerintahan Nasional Kota Jakarta.
Sebuah delegasi yang dipimpin oleh Martaamidjaja menemui Hasegawa untuk meminta peralihan kepemimpinan tapi Hasegawa menolak sehingga pada tanggal 7 September 1945, di Balaikota diadakan rapat besar yang dihadiri seluruh pegawai pribumi yang bekerja untuk Jakaruta Tokubetsu. Rapat memutuskan untuk menyerahkan secara resmi pemerintahan Jakarta kepada Soewirjo, didampingi Bagindo Dahlan Abdullah sebagai wakilnya (sebelumnya ia menjabat sebagai Joyaku III dalam pemerintahan Hasegawa). Ditunjuk pula Suratno Sastroamidjojo sebagai sekretarisnya. Jabatan Soewirjo sebagai Walikota Jakarta dikukuhkan oleh Presiden Soekarno pada 29 September 1945, bersamaan dengan pendaratan tentara Sekutu di Indonesia. Pemerintahan Nasional yang terbentuk masa itu mencakup juga pemerintahan kota Jakarta.
Belanda yang masih mengharapkan untuk dapat merebut kembali kekuasaannya, barusaha untuk kembal  menguasai Indonesia. Oleh karena itu terdapat gangguan stabilitas penyelenggaraan pamerintahan, terutama terhadap kota Jakarta yang pada waktu itu merupakan pusat pemerintahan. Tanggal 21 Jul 1947, Belanda rnelancarkan agresinya yang pertarna untuk merebut wilayah-wilayah dalam kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia, di mana kota Jakarta termasuk menjadi sasaran pokok. Beberapa saat sebelum kejadian itu, pusat pemerintahan dengan pejabat-pejabat negara telah terlebih dahulu hijrah ke Yogyakarta. Balaikota diduduki dan Walikota Soewirjo beserta pejabat-pejabat lainnya ditahan.


DASAR HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH
TAHUN 1945 SAMPAI DENGAN 1965

UUD RI Tahun 1945


Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklarnasi Kemerdekaan Bangsa dan Tanah Air Indonesia diumurnkan kepada dunia oleh Ir. Soekamo dan     Drs. Mohammad Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Itu adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikuatkan oleh Ketetapannya MPRS No. XX/MPRS/1966 yang kemudian dikokohkan oleh MPR hasil pemilihan urnum dengan Ketetapan MPR No. V/MPR/1973. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang dan menetapkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945 sumber dari segala sumber hukum. 
Konstitusi UUD 1945, khususnya dalam pasal 18 merupakan ketentuan utama dari pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menegaskan:
          "Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak hak asal-usul datam Daerah-daerah yang bersifat istirnewa".
Dalarn Penjelasan UUD 1945 tentang pasal 18 tersebut diuraikan lebih rinci sebagai berikut “Oleh karena Negara indonesia itu suatu "eenheidsstaat" rnaka lndonesia tidak akan mempunyai daerah di dalarn lingkungannya yartg bersifat "staat" juga. Daerah Indonesia akan dibagl dalarn daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalarn daerah yang kecil. Daerah-daerah Itu bersifat autonoom (streek dan locale reehtsgemeensehappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, sernuanya menurut aturan yang akan ditetapkan  dengan Undang-Undang….

UU No. 1 Tahun 1945


Tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoniesa (PPKI)  telah rnenetapkan hal hal sebagai berikut:
a.    Daerah Indonesia dibagi dalarn 8 Provinsi yang dikepalai oleh Gubernur. Provinsi-provinsi itu ialah : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. (Jakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat).
b.    Provinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh Residen.
Selanjutnya pada tanggal 23 Nopember 1945 atas usul Badan Pekerja KNP yang disetujui Pemerintah, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang menetapkan antara lain sebagai berikut:
a.      Komite Nasional Daerah diadakan di Karesidenan, di Kota berautonomi, Kabupaten dan lain lain daerah yang dipandang perlu oleh Menteri Dalarn Negeri. (Pasal 1).
b.      Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersarna-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumahtangga daerahnya. (Pasal 2).
c.       Oleh Kornite Nasional Daerah dipiIih sebanyak-banyaknya 5 orang sebagai Badan Eksekutif, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan Pemerintahan sehari-hari. (Pasal 3).
Sehari setelah proklamasi yang mengamanatkan peralihan kekuasaan ‘dalam tempo yang sesingkat-singkatnya’ peralihan pemerintahan Jakarta kepada Pemerintahan Nasional Indonesia juga segera dilakukan. Dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin oleh Martaamidjaja dengan tugas mengalihkan tanggungjawab Jakarta Tokubetsu Shi kepada Soewirjo. Dikirimlah sebuah delegasi untuk menemui Hasegawa, tetapi ditolak. Akan tetapi, karena Hasegawa tak pernah muncul lagi ke kantor, pemimpin pemerintahan kota kemudian diambil alih oleh Soewirjo didampingi oleh Suratno Sastroamidjojo sebagai sekretarisnya. Selain itu, nama Tokubetsu Shi diganti menjadi Pemerintahan Nasional Kota Jakarta. Pada 29 September 1945, bertepatan dengan pendaratan tentara Sekutu di pantai Jakarta, Soewirjo diangkat Presiden Republik Indonesia, Soekarno, sebagai Walikota Jakarta. Sejarah kemudian mencatat, Soewirjo adalah  pemimpin Jakarta yang pertama dalam masa kemerdekaan.

Masa Pendudukan NICA Tahun 1947


Kedatangan Sekutu ini membuat situasi menjadi rumit. Netherlands Indies Civil Affairs (NICA) yang membonceng Sekutu ikut “mengurusi” administrasi Jakarta sebagai sebuah daerah “yang dibebaskan”. Pada Januari 1946, dibentuklah Allied Millitary Administration Civil Affairs Branch (AMACAB) yang diisi oleh pejabat-pejabat Hindia Belanda yang baru dibebaskan dari tahanan Jepang. Dengan demikian, di Jakarta terdapat dualisme pemerintahan. Situasinya menjadi semakin rumit pada 30 November 1946, ketika kekuasaan Sekutu kemudian dialihkan seluruhnya kepada NICA.
Ketika pemerintahan pusat dialihkan ke Yogyakarta, Pemerintahan Nasional Kota Jakarta terus ditekan NICA. Puncaknya, setelah Aksi Militer Belanda Juli 1947, Pemerintahan Nasional Kota Jakarta dibubarkan Belanda. Pada 21 Nopember 1947, Soewirjo dan stafnya ditangkap dan diusir dari Jakarta. Dengan demikian, Pemerintahan Nasional Kota Jakarta dibubarkan atau dibekukan. Jakarta kemudian dipimpin oleh seorang Gubernur Militer, Daan Jahja.
Penguasaan Belanda terhadap sebagian besar Pulau Jawa, termasuk kota Jakarta, disertai dengan penyelenggaraan pernerintahan berdasarkan sistim yang menjurus ke arah federalisme. Tanggal 9 Maret 1948 dibentuk pemerintahan Pre-Federal dengan menjadikan Jakarta juga sebagai ibukota Negara yang waktu itu tidak termasuk dalam lingkungan salah satu negara bagian, melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Pernerintah Federal. Luas wilayahnyapun, tidak hanya terbatas dalam keadaan sebelum perang dunia kedua, tetapi diperluas ke arah sekitarnya.

UU No. 22 Tahun 1948 (1948-1957)


Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur pertama kali melalui Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri atau disebut juga UU Pokok Tentang Pemerintahan Daerah yang ditetapkan di Jogyakarta tanggal 10 Juli 1948. 
Pasal 1 menetapkan bahwa Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam Pasal 34 diatur bahwa Dewan Pemerintah Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari yang secara bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kepala Daerah mengawasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menunda dijalankannya keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. (Pasal 36).
Pada 27 Desember 1949, Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang berbentuk federasi dengan sebutan Republik Indonesia Serikat. Masa itu, biasa disebut dengan masa pemulihan kedaulatan. Pada masa itu, Soewirjo kemudian mendapat tugas untuk mengkoordinasikan jawatan-jawatan Republik di Jakarta, hingga pada akhirnya diangkat kembali sebagai Walikota Jakarta Raya pada 17 Februari 1950. Setelah menjabat kembali sebagai Walikota Jakarta untuk yang kedua kalinya, Soewirjo kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Soekiman-Soewirjo sejak pada bulan April 1951 hingga April 1952. Jabatan itulah yang kemudian menjadi penanda berakhirnya pengabdian Soewirjo sebagai pemimpin Jakarta.

Pengaturan I Tentang Ibukota: UU RIS No. 20 Tahun 1950.

Kedudukan kota Jakarta sebagai suatu daerah Swatantra dinarnakan Kotapraja Jakarta Raya ditetapkan dengan Keppres No. 125 Tahun 1950 Tanggal 24 Maret 1950 No. 125 Tentang Penentuan Wilayah Baru Bagi Ibukota Jakarta yang diperluas dengan wilayah Kotapraja Jakarta, Pulau Seribu, dan wilayah yang berbatasan dengan kota Jakarta. Kota Jakarta ditempatkan di bawah pengawasan langsung dari Pemerintah Pusat Republik Indonesia Kesatuan.
Menetapkan daerah Ibukota Jakarta terdiri dari lingkungan Kotapradja (Stadsgemeente) Djakarta; Pulau Seribu; dan dari Keresidenan Daerah sekitar Jakarta dahulu (onderdistrik/kecamatan Cengkareng, Kebun Jeruk, Kebayoran Ilir, Mampang Prapatan. Pasar Minggu, Kramat Jati, Pasar Rebo, Cilincing dan Pulogadung). Wilayah-wilayah tersebut diantaranya berasal dari Distrik Tanggerang dan Distrik Bekasi.
Berdasarkan UU Darurat Republik Indonesia No. 20 Tahun 1950 tanggal 13 Mei 1950 Tentang Pemerintahan Jakarta Raya diatur antara lain sebagai berikut:
a.    Membubarkan Gewest Jakarta dan Sekitarnya, yang dibentuk menurut Pasal 1 dari Ordonnantie bestuursorganisatie Batavia en Ommelanden Staatsblad 1948 No. 63.
b.    Pemerintahan Kota Jakarta, sebagai satuan pemerintahan, dijalankan atas nama Pemerintah Republik Indonesia Serikat oleh seorang Wali Kota.
c.    Pemerintahan Kotapraja Jakarta, sebagai satuan kenegaraan yang mengurus rumah tangganya sendiri, disebut "Kotapraja Jakarta Raya".:
Setelah pemulihan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, kota Jakarta dijadikan Ibukota Republik Indonesia Serikat. Distrlk Federal Jakarta walaupun rnerupakan sebagian dari wilayah Negara (Bagian) Republik Indonesia yang berpusat Yogyakarta, namun tetap tidak berada di bawah suatu Negara Bagian.
Pada tanggal 27Juni 1951, Sjamsuridjal diangkat sebagai Walikota Jakarta Raya. Proses pengangkatan Sjamsuridjal menjadi walikota Jakarta ini tak lepas dari peran Walikota Jakarta sebelumnya, Soewirjo yang menjadi Wakil Perdana Menteri Kabinet Sekiman-Soewirjo pada 2 Mei 1951. Sepeninggal Soewirjo, walikota Jakarta sementara dijabat oleh Mr. Suwahjo Sumodilogo, Anggota Badan Pemerintahan Harian Kotapraja Jakarta Raya. Untuk mengisi kekosongan itu, Dewan Perwakilan Kota Sementara bersidang untuk mengadakan pemilihan walikota, dengan empat calon yang diajukan, yakni Mr. Moh. Roem, Sjamsuridjal, Jahja Malik, dan Dr. Buntaran. Keempat calon itu diajukan kepada Menteri Dalam Negeri Mr Iskaq Tjokroadisuryo. Pemerintah pusat memilih Sjamsuridjal dengan pertimbangan kemampuannya dalam memimpin Bandung dan Surakata. Sjamsuridjal menjabat Walikota Jakarta hingga 9 November 1953 dan digantikan oleh Sudiro. Sjamsuridjal meninggal tanggal 24 Desember 1964 setelah sempat kembali ke Kementerian Dalam Negeri.

UU No. 1 Tahun 1957 (1957-1965)

Sejak berlakunya UU  No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah (menggantikan UU No. 22 Tahun 1948), dikenal adanya dua macam Kota Otonom, yakni Kotapraja Jakarta Raya yang berstalus Daerah Tingkat I dan Kotapraja yang berstatus Tingkat II, dan selanjutnya terdapat Daerah Tingkat III.
Pasal 2 menyatakan Wilayah RI  dibagi dalam  Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya; Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan Daerah tingkat ke III. Kemudian Pasal 4 menyatakan bahwa dalam Kotapraja, kecuali Kotapraja Jakarta Raya, tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah. Realisasi Kotapraja Jakarta Raya sebagai Daerah Tingkat I dilakukan pada tanggai 15 Januari 1960 dengan  Kepala Daerahnya disebut Gubernur.
Sudiro menjabat Wali Kota Jakarta dari tanggal 9 November 1953 sampai dengan  29 Januari 1960 menggantikan Sjamsuridjal. Setelah itu jabatan Walikota Jakarta digantikan oleh Soemarno Sosroatmodjo. Raden Soediro, lahir di Yogyakarta, 24 April 1911  adalah politisi pemerintahan di Indonesia. Menjabat sebagai Wali Kota Jakarta untuk periode 1953-1960. Ia mengeluarkan kebijakan pemecahan wilayah Jakarta menjadi tiga kabupaten yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Ia juga yang mengemukakan kebijakan pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK) yang kemudian menjadi Rukun Warga (RW).  Mengingat Jakarta secara de facto adalah ibu kota Republik Indonesia maka sering terjadi konflik kebijakan antara kebijakan kota dan kebijakan nasional. Ia menyatakan bahwa ada 3 daerah teritoris utama di Jakarta yaitu Bandara Kemayoran, Pelabuhan Tanjungpriok dan kota satelit Kebayoran Baru. Menteri Perhubungan biasanya mengeluarkan keputusan tentang Bandara Kemayoran tanpa konsultasi dengan Sudiro. Pada 1957, Sudiro membuat kebijakan sekolah gratis untuk tingkat sekolah dasar (SD), namun kebijakan ini hanya berlaku 1 tahun setelah pemerintah pusat membatalkannya.

Pengaturan III Tentang Ibukota: Penpres No. 2 Tahun 1961

Dengan Penpres No. 2 Tahun 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang rnengatur Pemerintahannya dalam bentuk lain, yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan bentuk pemerintahan seperti diatur dalam UU No. 1 Tanun 1957 yang berlaku secara nasional. Secara khusus diatur bahwa kedudukan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, berada di bawah dan bertanggung secara langsung kepada Presiden (Pasal 1).  Anggaran belanjanya dibebankan pada anggaran Sekretariat Negara (Pasal 3).
Status kekhususan itu tidak berlaku lama. Berdasarkan Keppres No. 22 Tahun 1971 tentang Pembinaan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya status khusus ini dibatalkan Sistim pertanggungjawaban Gubernur yang semula langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, menjadi melalui Menteri Dalam Negeri.
Gubernur DKI Jakarta berikutnya adalah Dr. Soemarno Sosroatmodjo, lahir di Jember 24 April 1911 seorang dokter tentara dan politisi. Menjabat dalam dua periode yaitu periode 1960–1964 dan periode 1965–1966. Saat itu beberapa masalah menghadang Jakarta dan nusantara, terutama berkaitan dengan isu Papua Barat dan demonstrasi Ganyang Malaysia.
Di masa kepemimpinannya, selain dibangun Monas, Patung Selamat Datang, dan Patung Pahlawan di Menteng,  juga dibangun rumah minimum.  Konsep rumah minimum ini adalah rumah dengan luas 90 meter persegi, dibangun di atas tanah 100 meter persegi, terdiri dari dua lantai, lokasinya dekat dengan tempat kerja. Proyek pertama rumah minimum dibangun di Jalan Raden Saleh, Karang Anyar, Tanjung Priok, dan Bandengan Selatan. Setelah selesai masa baktinya, Soemarno menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.

Pengaturan IV Tentang Ibukota: UU No. 10 Tahun 1964


Kedudukan Jakarta sebagai Ibu Kota diperkuat dengan dasar hukum berbentuk UU No. 10 Tahun 1964 Tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia Dengan Nama Jakarta. Pada pasal 2 dinyatakan bahwa UU ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan mempunyai daya surut sampai tanggal 22 Juni 1964 (UU itu sendiri diundangkan pada tanggal 31 Agustus 1964).
Daerah khusus Ibu-Kota Jakarta Raya dengan Undang-undang dinyatakan dengan tegas tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama JAKARTA, mengingat telah termasyhur dan dikenal, serta kedudukannya yang, karena merupakan kota pencetus Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pusat penggerak segala kegiatan, serta merupakan kota pemersatu dan penyebar ideologi Panca Sila keseluruh penjuru dunia.
Dengan dinyatakan tetap menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta, dimaksudkan dan dapat dihilangkan segala keraguraguan yang pernah timbul, berhubung dengan adanya keinginan-keinginan untuk memindahkan Ibu-Kota Negara Republik Indonesia ketempat lain. Undang-undang ini hanyalah bersifat menyatakan, karena Jakarta sejak dan dengan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 telah menjadi Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dengan demikian tidaklah perlu untuk ditetapkan kembali sebagai Ibu-Kota.
Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau juga dikenal dengan nama Henk Ngantung lahir di Manado, Sulawesi Utara 1 Maret 1921 adalah Gubernur DKI Jakarta menggantikan Soemarno. Ia menjabat Gubernur Jakarta untuk periode 1964-1965. Sebelum menjadi Gubernur Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal.
Sebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno. Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung. Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya dan Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung. Heng dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan Desember 1991.
Tugu Selamat Datang yang menggambarkan sepasang pria dan wanita yang sedang melambaikan tangan yang berada di bundaran Hotel Indonesia merupakan hasil sketsa Henk. Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Soekarno dan design awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang pada saat itu merupakan wakil Gubernur DKI Jakarta. Henk juga membuat sketsa lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad namun,  ironisnya, hal tersebut belum diakui oleh pemerintah. Tanggal 15 Juli 1965, Henk Ngantung diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta. Dalam buku “Henk Ngantung: Saya Bukan Gubernurnya PKI)” karya Obed Bima Wicandra (2017), tidak diungkapkan alasannya, hanya disebutkan Henk Ngantung sedang berobat ke Austria saat pencopotannya itu.

UU No. 18 Tahun 1965 (1965-1974)


UU No. 1 Tahun 1957 dicabut dan digantikan UU No. 18 Tahun 1965 Tanggal 1 September 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Diatur  antara lain terdapat 3 Tingkatan Kota yakni Kota Raya sebagai Daerah Tingkat I, Kotamadya dan atau Kabupaten sebagai Daerah Tingkat II, dan Kotapraja sebagai Deerah Tingkat III. Pada saat awal berlakunya UU ini, Jakarta dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin.
Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) menyatakan bahwa dalam peIaksanaan UU tersebut, klasifikasi Kotaraya dapat ditafsirkan identik dengan metropolitan, dan dapat dijadikan sebagai landasan hukum terhadap pembinaan Pemerintahan DKI Jakarta. Pembinaan dimaksud memerlukan penataan secara khusus sebagai metropolitan, diantaranya tidak memerlukan pembentukan Daerah Tingkat II dalam wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, penyelenggaraan pamerintahan cukup diatur dengan berazaskan dekonsentrasi terbatas. Sampai dengan tahun 1966 susunan organisasi pemerintahan terdiri dari tiga Perwakilan Urusan Pamerintahan Umum (Jakarta Utara, Jakarta Tengah dan Jakarta Selatan) yang berfungsi sebagal koordinator dan pengawas terhadap 6 Kawedanaan. Selanjutnya Kewedanaan terbagi atas 21 Kecamatan dan 139 Kelurahan.
Kemudian DPR GR DKI Jakarta menetapkan Perda No, 4 Tahun 1966 tentang Pembagian wilayah-wilayah dalarn rangka dekonsentrasi Pemerintahan DKI Jakarta. Pernbagian wilayah Daerah yang dilakukan berazaskan dekonsentrasi terbalas terdiri dari 5 Wilayah Kota, 30 Kecamatan dan 236 Kelurahan. Baik kota maupun Kecamatan dan Kelurahan merupakan wilayah administratif, bukan Daerah Tingkat II, Tingkat III dan Desapraja seperti dimaksud oleh Undang-undang No. 18 Tahun 1965. Walikota langsung di bawah Kepala Daerah, dan demikian berjenjang  dari Camat sampai Lurah dalam hubungan vertikal. Walikota, Camat dan Lurah rnerupakan jabalan karier, yang pengangkatan serta pemberhentiannya dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah.  Pembakuan jumlah penduduk per kelurahan juga dibakukan yaitu untuk Kelurahan Kota sebanyak 30.000 jiwa, Keturahan pinggiran 20.000 jiwa. Berdasarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No.lb.3/1/1/66 tentang Pembentukan Kota Administratif,  Kecamatan dan Keiurahan dalam wilayah DKI Jakarta.tanggal 12 Agustus 1966 dibentuk 5 Kota Administratip, 22 Kecamatan dan 204 Kelurahan. Kemudian dengan SK Gubernur tanggal 1 Jull 1967, dilakukan pemecahan beberapa Kecamatan dan Kelurahan sehingga jumlah wilayah administratif menjadi 5 Kota Administratif, 27 Kecamatan, 220 Kelurahan. 
Semula, Pemerintah Wilayah Kota DKI Jakarta hanya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang digolongkan sebagai fungsi tradisional, umpamanya keamanan dan ketertiban atau bencana alam pada umumnya. Oleh Gubernur Ali Sadikin, Pemerintah Kota diarahkan untuk menghadapi tugas-tugas memperbaiki kondisi kehidupan ekonorni, sosial dan kebudayaan bagi warganya, antara lain menentukan dan rnengatur penggunaan tanah, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi atau komunikasi, prasarana-prasarana umum terrnasuk fasilitas olah raga, serta rekreasi. Jakarta juga melaksanakan kegiatan dalam kedudukannya sebagai Ibukota dan tempat kedudukan Pemerintah Pusat. Salah satu pokok masaiah dibidang pemerintahan pada permulaan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 1966 meliputi pengembangan administrasi dan pengelolaan pemerintahan. Secara struktural langkah penting yang ditempuh adalah dengan menghapuskan adanya "pemerintahan kembar", yaitu Perangkat Pemerintah Pusat atau yang lazim disebut Pamongpraja dan Aparat Pemerintah Daerah atau Perangkat Otonom. 
Pengorganisasian staf pimpinan Sekretariat Wilayah Daerah semula terdiri dari 6 Direktort dan 5 Biro. Pada  tanggal 19 Juli 1972 melalui Kepmendagri No. 113 tahun 1972 ditetapkan Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Tk. I. yang seragam untuk seluruh Propinsi di Indonesia. Ternyata bentuk organisasi Setwilda DKI yang telah ditetapkan sebelumnya telah sesuai dengan Kepmendagri tersebut. Lebih lanjut, organisasi Setwilda DKI dikembangkan menjadi 8 Direktorat dan 7 Biro.   sebagai berikut:
a.      Direktorat I. Pemerintahan; Direktorat II. Ketertiban Umum; Direktorat III. Kesejahteraan Rakyat;  Direktorat IV. Pembangunan; Direktorat V. Perekonomian; Direktorat VI. Keuangan; Direktorat VII. Politik; Direktorat VIII. Pembangunan Masyarakat Desa. Setiap Direktorat sesuai dengan pembidangannya bertugas pula membantu koordinasi administratif unit-unit organisasi.
b.      Biro I. DPRD; Biro II. Kepala Daerah; Biro III. Administrasi; Biro IV. Personalia; Biro V. Hukum dan Perundang-undangan; Biro VI. Perbekalan dan Perawatan Materiit; Biro VII. Organisasi dan Ketatalaksanaan.
Dalam tatacara pengelolaan maupun pembinaan pegawai terdapat pemisahan antara Pegawai Pusat dan Pegawai Daerah yang kemudian telah diintegrasikan dalam satu wadah yaitu Biro IV Personalia.  Pada tahun 1966 seluruh pegawai Pemerintah DKI Jakarta berjumlah 24.761 orang Salah satu usaha untuk menghilangkan dualisme ini adalah dengan memberi kesempatan yang sama kepada pegawai Pusat dan Daerah untuk menduduki jabatan fungsionil.  Kebijaksanaan ini ternyata kemudian sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-undang pokok kepegawaian No. 8 Tahun 1974 yang pada hakekatnya penentuan jabatan berdasarkan pada sistim prestasi.. Pada tahun 1968 telah digariskan pokok-pokok kebijaksanaan pembinaan dan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pegawai berdasarkan SK Gubernur tanggal 1 Juni 1968 No.Ab.12/1/4/1968, tentang Peraturan Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Personil dan membentuk Pusat Pendidikan dan Latihan Personil (PUSDIKLATNIL) Pemerintah DK1 Jakarta.
Dalam rangka pembinaan karier pegawai, telah diadakan pula pengaturan tentang jenjang kepangkatan para Kepala Pemerintahan Wilayah berdasarkan SK Gubernur tanggal, 27 April 1971 No. Ab.15/2/47/71 Tentang Jeniang  Karier Personil Perangkat Pernerintahan Wilayah. Sementara itu daam rangka kaderisasi, bagi pegawai-pegawai yang mempunyai prestasi yang baik diberikan kesempatan untuk berkembang dengan mewajibkan mengikuti pendidikan-pendidikan teknis kedinasan tambahan sehingga dikemudian hari dapat diproyeksikan untuk menduduki jabatan-jabatan yang lebih tinggi. Sistim prestasi dibidang pembinaan kepegawaian telah diterapkan dan dipedomani dalam pengembangan jenjang karier seseorang pegawai. Disamping diklat yang dilaksanakan sendiri, Pemda juga rnengirimkan pegawai pada lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tertentu, baik pemerintah maupun swasta, termasuk pendidikan ke luar negeri.

UU No. 5 Tahun 1974 (1974-1999)


Masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 relatif lama, kurang lebih 22 tahun, yaitu sampai dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999  Tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan UU ini menandai peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama (1945-1966) ke pemerintahan orde baru (1966-1999).
UU No. 5 Tahun 1974 mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah antara lain sebagai berikut:
a.      Prinsip yang dipakai adalah “Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”, bukan “Otonomi yang riil dan seluas-luasnya” dan penyelenggaraan pemerintahan daerah berlandaskan azas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, juga memberikan dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.
b.      Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD yaitu Kepala Daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. DPRD tidak boleh mencampuri bidang eksekutif karena bidang eksekutif adalah wewenang dan tanggung jawab Kepala Daerah sepenuhnya.
c.       Kepala Wilayah dalam semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan di daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri dan bidang moneter. Ia berkewajiban untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Dengan perkataan lain, Penguasa Tunggal adalah Administrator Kemasyarakatan. Sebagai wakil Pemerintah dan Penguasa Tunggal, maka Kepala Wilayah adalah pejabat tertinggi di Wilayahnya di bidang Pemerintahan, lepas dari persoalan pangkat.
d.      Presiden mengangkat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dari calon yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Hasil pemilihan dimaksud kemudian diajukan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya dua (2) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. (Pasal 15).
e.      Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam bentuk lain. (Pasal 6).
Penyelenggaraan pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta selama masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, berturut-turut dipimpin oleh:
a.      Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) dibantu oleh para Wakil Gubernur dr. Soewondo (Bidang Pemerintahan Umum & Sosial Politik), Sapi'ie (Bidang Ekonomi & Pembangunan Ekonomi), Ir. Prajogo (Bidang Pembangunan, Perkembangan Kota & Pekerjaan Umum) dan RHA Wiriadinata.
b.      Gubernur Tjokropranolo (1977-1982) dibantu oleh para Wakil Gubernur  Sardjono Soeprapto, Haki Chourmain, Piek Mulyadi Adikusumo dan Asnawi Manaf.
c.       Gubernur Soeprapto (1982-1987) dibantu para Wakil Gubernur  Eddie Marzuki Nalapraya (Bidang Pemerintahan), Anwar Ilmar (Bidang Kesejahteraan Masyarakat), dan Bunyamin Ramto (Bidang Ekonomi dan Pembangunan).
d.      Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) dibantuk para Wakil Gubernur Basofi Sudirman (Bidang Pemerintahan), Bunyamin Ramto (Bidang Ekonomi dan Pembangunan), Herbowo (Bidang Ekonomi & Pembangunan), dan Anwar Ilmar (Bidang Kesejahteraan Masyarakat).
e.      Gubernur Suryadi Sudirdja (1992-1997) dibantu para Wakil Gubernur M. Idroes (Bidang Pemerintahan), Tubagus Muhammad Rais (Bidang Ekonomi dan Pembangunan), RS Museno (Bidang Kesejahteraan Rakyat) dan Harun Alrasyid (Bidang Keuangan).
f.        Gubernur Sutiyoso (1997-2007) dibantu para Wakil Gubernur Abdul Kahfi (Bidang Pemerintahan), Boedihardjo Soekmadi (Bidang Pembangunan), Djailani (Bidang Kesejahteraan Masyarakat), Fauzie Alvi Yasin (Bidang Ekonomi Keuangan), dan Fauzi Bowo.

Pengaturan V Tentang Ibukota: UU No. 11 Tahun 1990.


Setelah 16 tahun berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, terbit UU Nomor 11 Tahun 1990 Tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta menggantikan UU Nomor 10 Tahun 1964 Tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara RI Dengan Nama Jakarta.

Beberapa ketentuan yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 1990 adalah antara lain sebagai berikut:
a.  Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibagi dalam Wilayah-wilayah Kotamadya. Wilayah Kotamadya dibagi dalam Wilayah-wilayah Kecamatan. Wilayah Kecamatan dibagi dalam Wilayah-wilayah Kelurahan.
b.  Gubernur Kepala Daerah disamping menyelenggarakan hak, wewenang, dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 81 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, juga menyelenggarakan pemerintahan yang bersifat khusus.
c.   Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus merupakan akibat langsung dari kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara. Dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersifat khusus dimaksud Gubernur Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden.
d.  Perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan pembangunan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang disetujui Presiden.
e.  Penyusunan rencana induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan dan bimbingan Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya serta adanya koordinasi dengan Daerah sekitarnya.
f.    Gubernur Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Wakil Gubernur Kepala Daerah yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g.  Dalam rangka menampung aspirasi masyarakat dan sebagai wadah komunikasi timbal balik pada tingkat Kotamadya, dibentuk Lembaga Musyawarah Kota yang keanggotaannya terdiri dari organisasi kekuatan sosial politik, ABRI, dan unsur pemerintah yang selanjutnya diatur oleh Menteri.
h.  Pembiayaan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yang bersifat khusus dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

UU No. 22 Tahun 1999 (1999-2004)


UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lahir di awal masa gerakan orde reformasi yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dipandang sebagai produk orde baru yang telah berkuasa selama 33 tahun.
Gubernur Sutiyoso yang memimpin DKI Jakarta selama 10 tahun yaitu dari tahun 1997 sampai dengan 2007 mengalami 3 kali berturut-turut perubahan UU yang menjadi dasar hukum pemerintahan daerah yaitu:
a.      Padap proses pengangkatan Gubernur untuk priode pertama (1997-2002)  dilakukan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 yaitu melalui pemilihan oleh DPRD.
b.      Pada proses pengangkatan Gubernur priode kedua (2002-2007)  dilakukan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yaitu melalui pemilihan oleh DPRD bersamaan dengan seorang Wakil Gubernur yaitu Dr. Ing. Fauzi Bowo.
c.       Karena pada tahun 2004 berlaku UU No. 32 Tahun 2004 maka saat menyelesaikan masa bhaktinya sampai dengan tahun 2007, penyelenggaraan pemerrintahan daerah dilaksanakan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dimaksud.

a.      Dalam rangka pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain (Pasal 4).
b.      Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. (Pasal 7).
c.       Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat Daerah lainnya. (Pasal 14). DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah (Pasal 16). DPRD mempunyai hak antara lain meminta pertanggungjawaban Gubernur,  meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah dan mengadakan penyelidikan (Pasal 19).
d.      DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan, dan pembangunan. Kepada yang menolak permintaan dimaksud diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun karena merendahkan martabat dan kehormatan DPRD (Pasal 20).
e.      Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.(Pasal 30). Kepala Daerah Propinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi (Pasal 31).
f.        Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan (Pasal 34). Nama-nama calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan Presiden. Pasal 38
g.      Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD (Pasal 39). Pasangan yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden (Pasal 40).
h.      Kepala Daerah diberhentikan karena antara lain mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD (Pasal 49).
i.         Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas membantu Kepala Daerah, mengkoordinasikan kegiatan, melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah berhalangan (Pasal 57).
j.         Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan lembaga Teknis Daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan Daerah (Pasal 60).
k.       Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta karena kedudukannya diatur tersendiri dengan Undang-undang (Pasal 117).

Pengaturan VI Tentang Ibukota: UU No. 34/1999 (1999-2007)


UU No. 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta disyahkan untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1990. Substansi yang diatur antara lain sebagai berikut:

a.  Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta diatur dengan berpedoman kepada UU  Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam UU ini. Aspek-aspek pemerintahan Propinsi DKI  Jakarta yang diatur dalam UU  ini meliputi kedudukan, pembagian wilayah, kewenangan pemerintahan, bentuk dan susunan pemerintahan, pembiayaan, dan kerja sama antar Daerah (Pasal 2).
b.  Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah pusat pemerintahan negara. Otonomi Propinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup Propinsi. Otonomi dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (Pasal 3 dan Pasal 4).
c.   Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta melimpahkan kewenangan yang luas kepada Kotamadya dan Kabupaten Administrasi dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 9).
d.  Di Kotamadya dibentuk Pemerintah Kotamadya dan Dewan Kota. Di Kabupaten Administrasi dibentuk Pemerintah Kabupaten Administrasi dan Dewan Kabupaten. Di Kelurahan dibentuk Pemerintah Kelurahan dan Dewan Kelurahan (Pasal 14).
e.  Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta memberikan persetujuan terhadap calon Walikotamadya/Bupati yang diajukan oleh Gubernur (Pasal 15).
f.    Semua ketentuan yang mengatur Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berlaku pula bagi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Nama-nama calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikonsultasikan dengan Presiden (Pasal 16).
g.  Untuk membantu Walikotamadya/Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan Kotamadya/Kabupaten Administrasi, dibentuk Dewan Kota/Kabupaten. Untuk membantu Lurah dalam penyelenggaraan pemerintahan Kelurahan, dibentuk Dewan Kelurahan (Pasal 26 dan Pasal 27).

UU No. 32 Tahun 2004 (2004-2014)

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU  No. 22 Tahun 1999,  beberapa ketentuan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:
a.      Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Pasal 1).
b.      Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 10).
c.       Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan (Pasal 11).
d.      Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standard pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Pasal 13).
e.      Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 24). Kepala Daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
f.        Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan karena berakhir masa jabatannya, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap berturut-turut 6 bulan dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
g.      Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan, dibentuk panitia pengawas pemilihan yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat (Pasal 56 dan Pasal 57).
h.      Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah (Pasal 120). Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri (Pasal 226).
i.         Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, diatur dengan undang-undang tersendiri. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom. Undang-undang dimaksud memuat pengaturan:
1)      kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai ibukota Negara;
2)      tempat kedudukan perwakilan negara-negara sahabat;
3)      keterpaduan rencana umum tata ruang Jakarta dengan rencana umum tata ruang daerah sekitar;
4)      kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh Pemerintah (Pasal 227).

Pengaturan VII Tentang Ibukota: UU No. 29/2007 (Sampai sekarang

UU  Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibukota Negara menggantikan UU No. 34 Tahun 1999 mengatur penyelenggaraan pemerintahan provinsi DKI jakarta antara lain sebagai berikut:
a.      Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini (Pasal 2).
b.      Gubernur Provinsi DKI Jakarta dibantu paling banyak oleh 4 (empat) orang deputi yang diberi kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
c.       Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta harus memperoleh dukungan suara pemilih lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah perolehan suara yang sah untuk ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
d.      Pendanaan dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR berdasarka usulan Provinsi DKI Jakarta. Pendanaan dimaksud merupakan anggaran yang diperuntukkan dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang pengalokasiannya melalui kementerian/lembaga terkait.
Dr. Ing. H. Fauzi Bowo, lahir di Jakarta, 10 April 1948 menjabat Gubernur DKI Jakarta dari 7 Oktober 2007 hingga 7 Oktober 2012. Ia terpilih pada pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2007 berpasangan dengan Prijanto sebagai Wakil Gubernur. Pasangan ini mengalahkan pasangan Adang Daradjatun dan Dani Anwar, yang pada waktu itu didukung oleh satu partai saja. Sebelum terpilih menjadi Gubernur, Fauzi Bowo adalah Wakil Gubernur mendampingi Gubernur Sutiyoso. Pemilu Kepala Daerah ini adalah yang pertama diselenggarakan di Indonesia berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada pilkada 2012, pasangan Joko Widodo dan Basuki Purnama mengungguli Fauzi Bowo dan Nachrawi Ramli.
Fauzi Bowo memulai kariernya sebagai PNS pada Pemerintah DKI Jakarta sejak tahun 1977. Beberapa posisi yang pernah dijabatnya antara lain adalah sebagai Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional dan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Ia juga menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso pada priode 2002-2007.
Dalam penjaringan calon gubernur tahun 2007 oleh Partai Persatuan Pembangunan, Fauzi Bowo mengungguli Agum Gumelar dan Mahfud Djailani dalam perolehan suara. Fauzi memperoleh 14 suara, Agum memperoleh 5 suara dan Djailani mendapat 2 suara. Namun, dalam skoring terhadap enam kandidat calon gubernur yang mengajukan diri ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia menempati urutan paling terakhir dan urutan teratas ditempati oleh Sarwono Kusumaatmadja. Fauzi Bowo dan Gubernur Sutiyoso dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya Banjir besar di Jakarta tahun 2004 di hampir seluruh wilayah ibukota DKI Jakarta..
Pada 22 Januari 2007, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyampaikan hasil jajak pendapat terhadap 700 responden pada minggu ketiga Desember 2006 dengan cara tatap muka. Hasil jajak pendapat LSI untuk calon Gubernur DKI adalah Fauzi Bowo, Rano Karno, Agum Gumelar, Sarwono Kusumaatmadja, Adang Daradjatun, dan Bibit Waluyo. Ia mengikuti Konvensi Partai Golkar 2007 dan  yang satu-satunya peserta konvensi yang mengembalikan formulir pendaftaran sehingga menjadi satu-satunya peserta yang diusung untuk jabatan gubernur. Ia juga menjadi salah satu calon gubernur yang dicalonkan Partai Bintang Reformasi dan mendapat dukungan secara khusus dari Din Syamsudin dan Partai Damai Sejahtera. Pada tanggal 16 Agustus 2007, pasangan Fauzi Bowo-Prijanto unggul dalam pilkada pertama langsung di Jakarta ini dengan 57,87% suara pemilih. Fauzi Bowo menggantikan Sutiyoso sebagai Gubernur Jakarta periode 2007 - 2012 pada tanggal 7 Oktober 2007.

Jakarta, 11 Januari 2019

  • Walikotamadya Jakarta Timur 2002-2008











Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS TONGGAK-TONGGAK SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

Pendorong Wirausaha (2)

Pendorong Wirausaha (1)