UMJ : Guru Integritas Dan Tugasnya
Ilmuwan idealis; Sosok
religius; Peduli etika;
Pribadi bijaksana;
Nalar dan kebiasaan.
- Ilmuwan Idealis
a.
Ilmu
bukan sekadar akumulasi informasi tapi lebih
penting lagi, ilmu adalah pembentuk cara berpikir dan bersikap. Cara pikir logika-positivisme bukanlah
segala-galanya. Refleksi intuitif pun sangat diperlukan karena penting, justru
demi terwujudnya penghayatan hidup yang lebih utuh. Belajar semestinya bukan
semata-mata proses reproduksi informasi dan juga
bukan sekadar upaya mengasah tata pikir
logis-empiris melainkan,
sekadar upaya pembentukan-diri (self-formation) dan pemekaran diri
(self-transformation) secara utuh dan seimbang. Dalam proses belajar sebaiknya
berlangsung pemekaran segala talenta berupa rasionalitas, kesadaran etis,
imajinasi estetis maupun kesadaran mistis yang kesemuanya
itu mesti bersifat kontekstual. Belajar
merupakan ikhtiar tiada henti untuk makin menjadi manusia utuh yang membumi.
Belajar adalah tindakan bertujuan yang terarah pada upaya untuk mengetahui
suatu hal (to know), mengambangkan kemampuan berkarya (to do) sehingga mampu
hidup bermakna dalam berbrayan agung (to live together).
b.
Seorang
ilmuwan linuwih berwawasan luas dan dalam serta berhati mulia. Teguh mendedikasikan hidup dan kemampuan
linuwih-nya untuk kemajuan dunia pendidikan. Ia tidak serong ke kanan atau ke
kiri, tak melenceng dari dunia pendidikan. Berpaut
kuat pada prinsip yaitu
seperangkat nilai-nilai luhur yang dipercaya mampu memberi makna pada kehidupan. Tampil sebagai sosok idealis, ia berpegang teguh pada
sesanti (nasihat) ‘aja mung waton’ (jangan hidup dan bekerja secara
asal-asalan). Segala sesuatu dikerjakannya secara sungguh-sungguh. Ada standard
dan patokan tertentu yang
harus dipenuhinya. Seorang
pendidik, apalagi dosen dan maha guru, semestinya tidak cukup hanya mampu
menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar. Mereka mesti mampu menulis. Maka,
selayaknya tidak boleh ada dosen muda “tunas
kerdil” apalagi “guru besar kayu mati”. Tak boleh ada pendidik, terlebih di
lingkungan pendidikan (terutama kampus), yang miskin karya tulis. Kalau pun
ada, sesungguhnya mereka adalah pendidik yang telah kehilangan integritas dan
harga diri.
c.
Tidak
hanya menjadi pendidik melalui kegiatan belajar-mengajar diruang-ruang kuliah.
Lebih dari itu, ia juga pendidik melalui berbagai publikasi melalui tulisan. Terjun dalam kancah pendidikan public melalui
tulisan di media penerbitan. Berlaku
prinsip “menulis atau binasa”. Punya kebugaran ide serta
stamina kepenulisan mengagumkan dan sebagai
insane bernalar (ensrationale) yang idealis. Sebagai seorang idealis, cenderung memilih
bersikap ugahari (moderat) dan menerima
relitas tegangan antara beragam pandangan. Setiap pandangan terlebih dulu
disimak secara kritis; ditimbang sisi positif dan negatifnya, kekuatan dan
kelemahannya serta realistis atau tidaknya gagasan itu.
- Sosok Religius
a.
Seorang
ilmuwan yang kesadaran ilmunya bersandarkan
sikap wedi-asih (tunduk dan cinta) kepada sang Khalik. Itu karena ia meyakini,
bahwa “Setiap kegiatan keilmuan yang berusaha membebaskan dirinya dari masalah
keagamaan mengenai bagaimana kegiatan keilmuan itu mesti mencerminkan daya
uapaya manusia untuk belajar menanggapi ajakan TUhan untuk berkomunikasi,
cenderung akan mengorbitkan penalaran nara (manusia) kedalam edaran swatantra
(otonom) dan mendudukkannya di tahta yang lebih tinggi dari segala hal lain.
Ini berarti melupakan keterbatasan manusia sebagai makhluk”.
b.
Sebuah
cara keberagamaan yang cenderung memikirkan secara dalam atau
menimbang dengan sungguh-sungguh iman yang dihidupinya. Sebuah corak keberagam
yang bersemboyan: “iman yang tidak dipikirkan secara dalam, tidak layak
dihidupi”. Cenderung
mementingkan otentisitas iman lebih daripada formalitas keberagamaan; mementingkan intimitas
dialog secara pribadi
dengan Sang Khalik lebih daripada kesemarakan
ritual agama. Rudolf
Bultmann (1884-1976): “…Iman tidak dapat dikomando dengan cemeti dan lengkingan
peluit; iman bukan sikap taat terhadap sesuatu, ,melainkan sesuatu yang
meyakinkan saya dari dalam; iman bukan latihan-latihan wajib yang membosankan
atau penerimaan buta atas rumusan-rumusan katekismus, melainkan sesuatu yang
meresapi dan melibatkan seluruh diri saya.”
c.
Corak
keberagaman macam itu mewarnai gaya hidup konkret keseharian. Terutama, hal itu
terpancar dengan terang benderang dalam sikap hidupnya yang rendah hati dan
bersahaja. Jangan sedikitpun
menampakkan gaya hidup ilmuwan-selebriti, yang dianggap banyak kalangan menjadi
penanda bagi kehebatan seorang ilmuwan “masa kini”. Jadilah pribadi yang dianugerahi
kesanggupan diri untuk memadukan ilmu dan
kebijaksanaan hidup. Dengan kelengkapan diri seperti itu, tak berlebihan kalau
dikatakan sebagai guru
intelektual, seorang ilmuwan yang matang.
- Peduli Etika
a.
Ilmuwan
matang lazimnya peduli pada etika. Dalam perbincangan etika, lazimnya dibedakan
secara tegas antara moral dan etika. Moral merujuk pada baik buruknya manusia
dalam kaitannya dengan sikap dan cara pengungkapannya (tindakan). Sedangkan
etika adalah filsafat moral atau refleksi filosofis mengenai moral. Moral
bersifat normative sekaligus imperative. Sementara itu, etika bisa saja bersifat
hipotesis. Moral dan
etika pada dasarnya sama karena keduanya
merujuk pada sikap, watak dan perilaku, yang ditinjau dari segi kebenaran atau
kesalahannya, atau dari kebaikan atau kejahatannya. Hanya saja, moral dianggap
bersumber pada wahyu, sedangkan etika bersumber pada nurani. Karena sama, maka
moral dan etika bisa disebut dalam satu ungkapan “moret” (moral dan etika) atau “moral-etika”, yaitu: “telaah dan
sekaligus juga anjuran untuk bersikap, mengambil keputusan dan bertindak
tentang “amar makruf, nahi munkar” ;
tentang memilih kebaikan dan menjauhi kebatilan. Moral dan etika, meskipun
bisa dibedakan, sesungguhnya tidaklah berbeda secara prinsipiil. Perbincangan
mengenai moral dan etika memiliki kepentingan yang sama, yaitu mengajak orang
untuk bersikap, mengambil keputusan, serta bertindak memilih kebaikan dan
menjauhi kebatilan.
b.
Perbincangan
mengenai moral-etika (moret) erat
kaitannya dengan, karenanya sebaiknya tak dilepaskan dari, masalah kebudayaan.
Kebudayaan dipahami meliputi baik kesenian, iptek, moret dan hal-hal lainnya
yang terkait. Jadi etika adalah bagian kebidayaan. Akan tetapi patut dicatat,
meskipun “hanya” merupakan salah satu bagian saja dari unsure kebudayaan, serta merupakan
bagian yang amat penting, etika (nilai-nilai budaya)
menentukan sifat dan corak dari pikiran, acar berpikir, serta tingkah laku
manusia dari suatu lingkungan kebudayaan.
c.
Lemahnya
etika dalam kehidupan bangsa ini bukan sekadar persoalan budaya yang berdimensi
individual. Melainkan, ia merupakan persoalan yang berdimensi
historis-struktural. Dalam arti, kegagalan budaya beretika itu sesungguhnya
bermula dan beroperasi dalam relasi-relasi kekuasaan yang tidak adil atau tidak
menghargai martabat manusia, yang telah berlangsung sejak zaman penjajahan. Bisa diduga, relasi-relasi
kekuasaan yang tidak menghargai martabat manusia itu masih terus berlanjut
hingga kini. Kadar dan manifestasinya bisa saja berbeda zaman penjajahan, Orde
Lama dan Orde Baru hingga era reformasi sekarang ini. Namun demikian, betapa pun
berbeda, hal itu tetap saja potensial mengakibatkan terjadinya kelumpuhan
budaya. Itulah
sebabnya, wacana etika
mesti menyoal relasi-relasi kekuasan. Etika tidak mencukupi manakala hanya
berkutat pada ranah kehidupan individual. Etika mesti menjangkau ranah
kehidupan social (politik). Disanalah
tempat beroperasinya relasi-relasi kekuasaan yang tidak menghargai martabat
manusia. Implikasinya
bagu dunia keilmuan; etika mesti menyoal tentang ilmu (pengetahuan).
d.
Tepatnya
etika mesti menalaah dan menyikapkan hal-hal (yang disembunyikan) yang ada
dibalik relasi antara (ilmu) pengetahuan dan kekuasaan. Seorang ilmuwan rentan
terhadap godaan kekuasaan. Ungkapan
bijak: kata-kata memang bisa menggerakkan orang, namun keteladananlah yang
menawan hati (Verba movent exampla
trahunt). Pesan
religious-etis-bijak Immanuel Kant (1724-1804): “Hendaklah setiap orang sedapat mungkin berusaha menjadi
manusia yang lebih baik. Hanya bila ia tidak menyembunyikan talentanya dalam
tanah, tapi menggunakan bakat aslinya sebaik-baiknya untuk menjadi manusia yang
lebih baik, barulah ia boleh berharap bahwa dengan bantuan dari atas akan
dilengkapkan yang di luar kemampuannya. Tidak begitu perlu ia tahu persis apa
bantuan itu…”.
- Pribadi Bijaksana
a.
Immanuel
Kant mempunyai pesona tersendiri terutama perihal keteguhan Kant dalam
menempatkan ilmu dan nilai-nilai sebagai dua hal yang duduk sama rendah berdiri
sama tinggi. Bersitan kesan seperti itu tampak jelas dalam kata-kata :
“Dua hal
memenuhi pikiran dengan ketakjuban dan ketakut-takziman yang terus-menerus
meningkat: langit nan bertabur bintang nun diatasku, dan hukum moral di dalam
hati-sanubariku”. Menentukan
sikap ketika menghadapi momen pertentangan, cenderung
(meski tidak selalu) memilih keugaharian (sikap mederat) dan keselarasan. Sikap inklusif lebih baik
dari pada bersikap eksklusif. Dalam menghadapi pertentangan, adalah baik jika
tidak memihak salah satu kubu dan sedapat mungkin merangkul keduanya.
b.
Secara
praktis, setiap orang hendaknya bersikap dengan pendekatan
“baik-ini-maupun-itu” atau bisa juga “bukan-ini-bukan-itu”. Barang siapa bersedia
bersikap moderat, dialah pribadi bijaksana. Sebab, ia telah memenuhi kewajiban
hidup yang dituntut oleh tertib kosmis, yaitu lingkungan konkret di mana dia
berada. Sebaliknya, barang siapa tidak mau bersikap moderat adalah bodoh. Ya,
bodoh, karena ia belum tahu cara hidup mana yang sesungguhnya menjadi
kebutuhannya yang sejati dan sungguh bermakna badi kebaikan bersama.
- Nalar dan Kebisaaan
a.
Pertimbangan
logika (nalar), etika dan estetika manusia sebagai insane bernalar harus
menonjol dalam penentuan sikap dan tindakan. Apakah pilihan etis pada
sikap moderat
lebih ditentukan oleh penalaran ?
ataukah, pilihan itu
sesungguhnya lebih ditentukan oleh hal-hal yang terbentuk di sepanjang sejarah
kehidupan yaitu habitus dalam pola
asuh sejak masa kanak-kanak?. Menurut
Arsitoteles, keutamaan hidup didapat bukan pertama-tama melalui pengetahuan
(nalar), melainkan melalui habitus, yaitu
kebisaaan melakukan yang baik. Mengapa? Karena, demikian dijelaskan lebih
lanjut oleh Anthony Giddens, kebisaaan itu menciptakan struktur hidup sehingga
memudahkan orang untuk bertindak. Melalui habitus, orang tak perlu susah payah
bernalar, mengambil jarak atau memberi
makna setiap kali hendak bertindak.
b.
Lain
lagi menurut paradigm pendidikan konstruktivistik. Disini, ada dua kemungkinan
jawaban. Itu tergantung pada pandangan konstruktivistik mana yang dirujuk.
Menurut pandangan konstruktivistik modern, pengetahuan itu milik individu, yang
dibangun melalui proses penarikan kesimpulan. Konsekuensinya, nalar bersifat
menentukan dalam pilihan tindakan individu. Sementara itu, menurut pandangan
konstruktivistik postmodern, pengetahuan merupakan milik kolektif yang dikelola
serta diatur sedemikian rupa dan merupakan hasil dari konstruksi social.
Konsekuensinya, kebisaaan bersifat menentukan dalam pilihan tindakan individu. Jadi, mana yang lebih
menentukan dalam pengambilan keputusan etis seseorang, nalar ataukah kebisaaan? Entahlah. Konon, para ahli
psikologi pun kebingungan untuk menjawabnya, mereka bertanya-tanya: bagaimana
bisa orang yang jelas-jelas sedemikian cerdas malah melakukan tindakan yang tak
bernalar? Pertanyaan itu mengemuka karena mereka menemukan banyak fakta
mengenai orang cerdas (bahkan sangat cerdas) yang tidak becus menjadi pilot
yang baik atas kehidupan etis mereka. Hanya saja, masalahnya, yang sebaliknya juga banyak. Maksudnya,
banyak orang cerdas yang sanggup menjadi pilot yang sangat baik atas kehidupan
etis mereka.
c.
Jika
demikian, boleh jadi kurang tepat memahami peran nalar dan kebiasaaan dalam pengambilan
keputusan etis, secara dikotomis: “ini-atau-itu”. Mungkin untuk sementara lebih
aman memahaminya secara moderat: “baik ini-maupun-itu”. Artinya bahwa nalar
dan kebisaaan sama-sama menentukan dalam pengambilan keputusan etis. Kecuali,
bila uji falsifikasi menyanggahnya. Entah dengan cara bagaimana, nalar dan
kebisaaan secara bersama-sama dapat membentuk
sejarah kehidupan seseorang sedemikian rupa sehingga menjadi “teks pendidikan” yang
bermutu; menjadi guru integritas. Rasanya,
itulah magnum opus Pak Liek; menjadi teladan mengenai pentingnya membisaakan
hidup bernalar, religious, serta berbudaya etis dan bijaksana. Ia layak dibaca dan dipelajari oleh siapa
saja, terutama para pendidik yang berkomitmen menjadi pendidik karakter bagi
kaum muda.*)
.
Guru
dan Tugasnya
1.
Siapakah
Guru
a.
Guru
sebagai pribadi
Seperti halnya pribadi-pribadi yang lain pembentukan pribadi guru,
dipengaruhi faktor-faktor yang berasal dari lingkungan keluarganya, sekolahnya
tempat ia dulu belajar, masyarakat sekitar serta kondisi dan situasi sekolah di
mana ia sekarang bekerja. Dengan tidak mengabaikan pengaruh lingkungan yang
lain, besar sekali pengaruh dari pengalaman pendidikannya di sekolah tempat dia
mempersiapkan diri dalam tugasnya sebagai guru. Guru adalah suatu profesi.
Sebelum ia bekerja sebagai guru, terlebih dahulu dididik dalam suatu lembaga
pendidikan keguruan. Dalam lembaga pendidikan tersebut, ia bukan hanya belajar
ilmu pengetahuan atau bidang studi yang akan diajarkan, ilmu dan metode
mengajar, tetapi juga dibina agar memiliki kepribadian sebagai guru.
Kepribadian dia sebagai guru, sudah tentu tidak dapat dipisahkan dari
kepribadiannya sebagai sebagai individu.
b.
Guru
sebagai pendidik dan pengajar
Guru mempunyai peranan ganda sebagai pengajar dan pendidik. Kedua peran
tersebut bisa dilihat perbedaannya, tetapi tidak bisa dipisahkan. Tugas utama
sebagai pendidik adalah membantu mendewasakan anak. Dewasa secara psikologis,
sosial, dan moral. Dewasa secara psikologis berarti individu telah bisa berdiri
sendiri, tidak tergantung kepada orang lain, jugatelah mampu bertanggung jawab
atas segala perbuatannya, mampu bersikap objektif. Dewasa secara sosial berarti
telah mampu menjalin hubungan sosial dan kerjasama dengan orang dewasa lainnya,
telah mampu melaksanakan peran-peran sosial. Dewasa secara moral, yaitu telah
memiliki seperangkat nilai yang ia akui kebenarannya, ia pegang teguh dan mampu
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangannya.
Tugas utama guru sebagai pengajar adalah membantu perkembangan
intelektual, afektif dan psikomotor, melalui menyampaikan pengetahuan,
pemecahan masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan. Pada waktu guru
menyampaikan pengetahuan dll., tidak mungkin terlepas dari upaya mendewasakan
anak, dan upaya mendewasakan anak tidak mungkin dilepaskan dari mengajar
(menyampaikan pengetahuan dll). Keduanya sukar untuk dipisahkan, pada suatu
saat mungkin peranannya sebagai pendidik lebih besar sedang pada saat lain
peranannya sebagai guru yang lebih besar. Guru sebagai pendidik terutama
berperan dalam menanamkan nilai-nilai yang merupakan ideal dan standar dalam
masyarakat. Sebagai pendidik guru bukan hanya penanam dan pembina nilai-nilai
tetapi ia juga berperan sebagai model, sebagai contoh suri teladan bagi
anak-anak. Oleh karena itu tidak heran apabila banyak tuntutan yang diarahkan
kepada guru. Semua nilai-nilai baik yang ada dalam masyarakat, dituntut untuk
dimiliki oleh seorang guru.
c.
Guru
sebagai pembimbing
Selain sebagai pendidik dan pengajar juga guru punya peran sebagai
pembimbing. Perkembangan anak tidak selalu mulus dan lancar, adakalanya lambat
dan mungkin juga berhenti sama sekali. Dalam situasi seperti itu mereka perlu
mendapatkan bantuan atau bimbingan. Dalam upaya membantu anak mengatasi
kesulitan atau hambatan yang dihadapi dalam perkembangannya, guru berperan
sebagai pembimbing. Sebagai pembimbing, guru perlu memiliki pemahaman yang
seksama tentang para siswanya, memahami segala potensi dan kelemahannya,
masalah dan kesulitan-kesulitannya, dengan segala latar belakangnya. Agar
tercapai kondisi seperti itu, guru perlu banyak mendekati para siswa, membina
hubungan yang lebih dekat dan akrab, melakukan pengamatan dari dekat serta
mengadakan dialog-dialog langsung. Dalam situasi hubungan yang akrab dan
bersahabat, para siswa akan lebih terbuka dan berani mengemukakan segala
persoalan dan hambatan yang dihadapinya. Melalui situasi seperti itu pula, guru
dapat membantu para siswa memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
2.
Kematangan
Kepribadian Guru
a.
Kedewasaan
Guru sebagai pribadi, pendidik, pengajar dan pembimbing, dituntut
memiliki kematangan atau kedewasaan pribadi, serta kesehatan jasmani dan
rohani. Minimal ada tiga ciri kedewasaan.
Pertama,
orang yang telah dewasa telah memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of
life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya dan menjadi pegangan
dan pedoman hidupnya. Seorang yang telah dewasa tidak mudah terombang-ambing
karena telah punya pegangan yang jelas, ke mana akan pergi, dan dengan cara
mana ia mencapainya.
Kedua,
orang dewasa adalah orang mampu melihat segala sesuatu secara obyektif. Tidak
banyak dipengaruhi oleh subjektivitas dirinya. Mampu melihat dirinya dan orang
lain secara objektif, melihat kelebihan dan kekurangan dirinya dan juga orang
lain. Lebih dari itu ia mampu bertindak sesuai dengan hasil penglihatan
tersebut.
Ketiga,
seorang dewasa adalah orang yang telah bisa bertanggung jawab. Orang dewasa
adalah orang yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan; tetapi sisi lain dari
kebebasan adalah tanggung jawab. Dia bebas menentukan arah hidupnya,
perbuatannya, tetapi setelah berbuat ia dituntut tanggung jawab. Guru harus
terdiri atas orang-orang yang bisa bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Untuk dapat menyajikan dan menyampaikan materi pengetahuan atau bidang
studi dengan tepat, guru juga dituntut menguasai strategi atau metoda mengajar
dengan baik. Ia diharapkan dapat mempersiapkan pengajaran, melaksanakan dan
menilai hasil belajar para siswa dengan baik. Dapat memilih dan menggunakan
model-model interaksi belajar-mengajar yang tepat, mengelola kelas dan
membimbing perkembangan siswa dengan tepat pula.
Ketepatan pemilihan dan penyiapan bahan pengajaran, ketepatan penentuan
model mengajar dan teknik-teknik pengelolaan dan pembimbingan siswa, dilandasi
pula oleh penguasaan guru akan konsep dan prinsip-prinsip pendidikan dan
keguruan. Konsep dan prinsip-prinsip ini diberikan dalam Ilmu Pendidikan,
Psikologi, Pengembangan Kurikulum, Metodologi Pengajaran, Bimbingan Penyuluhan,
Administrasi Pendidikan dll. Guru professional perlu menguasai bidang-bidang
pengetahuan tersebut secara memadai.
b.
Kesehatan
Fisik dan Psikis
Guru dituntut memiliki fisik dan mental yang sehat. Fisik yang sehat
berarti terhindar dari berbagai macam penyakit. Guru yang sakit bukan saja
tidak mungkin dapat melaksanakan tugas dengan baik tetapi juga kemungkinan
besar akan menularkan penyakitnya kepada anak-anak.
Guru tidak boleh memkiliki cacat badan yang menonjol yang memungkinkan
kurangnya penghargaan dari anak-anak. Kesehatan mental berarti guru terhindar
dari berbagai bentuk gangguan dan penyakit mental.
c.
Kemampuan
Profesional
1) Penguasaan
Ilmu dan Ketrampilan Keguruan
Guru merupakan suatu pekerjaan profesional dan oleh karenanya untuk dapat
melaksanakan tugas tersebut dengan baik, selain harus memenuhi syarat-syarat
kedewasaan, sehat jasmani dan rohani, guru juga harus memiliki ilmu dan
kecakapan-kecakapan dan ketrampilan keguruan. Hal ini diperoleh di lembaga
pendidikan guru.
Agar mampu menyampaikan ilmu pengetahuan atau bidang studi yang
diajarkannya ia harus menguasai ilmu atau bidang tersebut secara lluas dan
mendalam. Ia juga dituntut menguasai strategi
dan metoda amengajar dengan baik. Mempersiapkan bahan pengajaran,
melaksanakan dan menilai hasil belajar. Memilih dan menggunakan model-model
intetraksi belajar-mengajar yang tepat, mengelola kelas dan membimbing
[perkembangan siswa dengan tepat.
2) Sifat
dan sikap professional
Selain pengetahuan dan kecakapan-kecakapan di atas, ada beberapa sifat
dan sikap yang harus dimiliki oleh guru professional, yaitu:
a) Fleksibel.
Seorang guru adalah orang yang telah mempunyai pegangan hidup, telah punya prinsip, pendirian dan keyakinan
sendiri, baik di dalam nilai-nilai maupun ilmu pengetahuan. Dalam menyatakan
dan menyampaikan prinsip dan pendiriannya ia harus fleksibel, tidak kaku,
disesuaikan dengan situasi, tahap perkembangan, kemampuan, sifat-sifat serta
latar belakang siswa. Guru harus bisa bertindak bijaksana, yaitu menggunakan
cara atau pendekatan yang tepat, terhadap orang yang tepat dalam situasi yang
tepat.
b) Bersikap
terbuka. Seorang guru hendaknya memiliki sifat terbuka, baik untuk menerima
kedatangan siswa, untuk ditanya oleh siswa, untuk diminta bantuan, juga untuk
mengoreksi diri. Kelemahan atau kesulitan yang dihadapi oleh para siswa
adakalanya disebabkan karena kelemahan atau kesalahan pada guru. Untuk
memperbaiki kelemahan siswa, terlebih dulu harus didahului oleh perbaikan pada
diri guru. Upaya ini menuntut keterbukaan pada pihak guru.
c) Berdiri
sendiri. Seorang guru adalah orang yang telah dewasa, ia telah sanggup berdiri
sendiri, baik secara intelektual, sosial
Komentar
Posting Komentar