UMJ : Guru Integritas Dan Tugasnya





Ilmuwan idealis; Sosok religius; Peduli etika;
Pribadi bijaksana; Nalar dan kebiasaan.

  1. Ilmuwan Idealis
a.   Ilmu bukan sekadar akumulasi informasi tapi  lebih penting lagi, ilmu adalah pembentuk cara berpikir dan bersikap. Cara pikir logika-positivisme bukanlah segala-galanya. Refleksi intuitif pun sangat diperlukan karena penting, justru demi terwujudnya penghayatan hidup yang lebih utuh. Belajar semestinya bukan semata-mata proses reproduksi informasi dan juga bukan sekadar upaya mengasah tata pikir logis-empiris  melainkan, sekadar upaya pembentukan-diri (self-formation) dan pemekaran diri (self-transformation) secara utuh dan seimbang. Dalam proses belajar sebaiknya berlangsung pemekaran segala talenta berupa rasionalitas, kesadaran etis, imajinasi estetis maupun kesadaran mistis yang kesemuanya itu mesti bersifat kontekstual. Belajar merupakan ikhtiar tiada henti untuk makin menjadi manusia utuh yang membumi. Belajar adalah tindakan bertujuan yang terarah pada upaya untuk mengetahui suatu hal (to know), mengambangkan kemampuan berkarya (to do) sehingga mampu hidup bermakna dalam berbrayan agung (to live together).
b.   Seorang ilmuwan linuwih berwawasan luas dan dalam serta  berhati mulia. Teguh mendedikasikan hidup dan kemampuan linuwih-nya untuk kemajuan dunia pendidikan. Ia tidak serong ke kanan atau ke kiri, tak melenceng dari dunia pendidikan. Berpaut kuat pada prinsip yaitu seperangkat nilai-nilai luhur yang dipercaya mampu memberi makna pada kehidupan. Tampil sebagai sosok idealis, ia berpegang teguh pada sesanti (nasihat) ‘aja mung waton’ (jangan hidup dan bekerja secara asal-asalan). Segala sesuatu dikerjakannya secara sungguh-sungguh. Ada standard dan patokan tertentu yang harus dipenuhinya. Seorang pendidik, apalagi dosen dan maha guru, semestinya tidak cukup hanya mampu menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar. Mereka mesti mampu menulis. Maka, selayaknya tidak boleh ada dosen muda tunas kerdil” apalagi “guru besar kayu mati”. Tak boleh ada pendidik, terlebih di lingkungan pendidikan (terutama kampus), yang miskin karya tulis. Kalau pun ada, sesungguhnya mereka adalah pendidik yang telah kehilangan integritas dan harga diri.
c.   Tidak hanya menjadi pendidik melalui kegiatan belajar-mengajar diruang-ruang kuliah. Lebih dari itu, ia juga pendidik melalui berbagai publikasi melalui tulisan. Terjun dalam kancah pendidikan public melalui tulisan di media penerbitan. Berlaku prinsip “menulis atau binasa”.  Punya kebugaran ide serta stamina kepenulisan mengagumkan dan sebagai insane bernalar (ensrationale) yang idealis. Sebagai seorang idealis, cenderung memilih bersikap ugahari (moderat) dan menerima relitas tegangan antara beragam pandangan. Setiap pandangan terlebih dulu disimak secara kritis; ditimbang sisi positif dan negatifnya, kekuatan dan kelemahannya serta realistis atau tidaknya gagasan itu.
  1. Sosok Religius
a.    Seorang ilmuwan yang kesadaran ilmunya bersandarkan sikap wedi-asih (tunduk dan cinta) kepada sang Khalik. Itu karena ia meyakini, bahwa “Setiap kegiatan keilmuan yang berusaha membebaskan dirinya dari masalah keagamaan mengenai bagaimana kegiatan keilmuan itu mesti mencerminkan daya uapaya manusia untuk belajar menanggapi ajakan TUhan untuk berkomunikasi, cenderung akan mengorbitkan penalaran nara (manusia) kedalam edaran swatantra (otonom) dan mendudukkannya di tahta yang lebih tinggi dari segala hal lain. Ini berarti melupakan keterbatasan manusia sebagai makhluk”.
b.    Sebuah cara keberagamaan yang cenderung memikirkan secara dalam atau menimbang dengan sungguh-sungguh iman yang dihidupinya. Sebuah corak keberagam yang bersemboyan: “iman yang tidak dipikirkan secara dalam, tidak layak dihidupi”. Cenderung mementingkan otentisitas iman lebih daripada formalitas keberagamaan; mementingkan intimitas dialog secara pribadi dengan  Sang Khalik lebih daripada kesemarakan ritual agama. Rudolf Bultmann (1884-1976): “…Iman tidak dapat dikomando dengan cemeti dan lengkingan peluit; iman bukan sikap taat terhadap sesuatu, ,melainkan sesuatu yang meyakinkan saya dari dalam; iman bukan latihan-latihan wajib yang membosankan atau penerimaan buta atas rumusan-rumusan katekismus, melainkan sesuatu yang meresapi dan melibatkan seluruh diri saya.”
c.    Corak keberagaman macam itu mewarnai gaya hidup konkret keseharian. Terutama, hal itu terpancar dengan terang benderang dalam sikap hidupnya yang rendah hati dan bersahaja. Jangan sedikitpun menampakkan gaya hidup ilmuwan-selebriti, yang dianggap banyak kalangan menjadi penanda bagi kehebatan seorang ilmuwan “masa kini”. Jadilah pribadi yang dianugerahi kesanggupan diri untuk memadukan ilmu dan kebijaksanaan hidup. Dengan kelengkapan diri seperti itu, tak berlebihan kalau dikatakan sebagai guru intelektual, seorang ilmuwan yang matang.
  1. Peduli Etika
a.    Ilmuwan matang lazimnya peduli pada etika. Dalam perbincangan etika, lazimnya dibedakan secara tegas antara moral dan etika. Moral merujuk pada baik buruknya manusia dalam kaitannya dengan sikap dan cara pengungkapannya (tindakan). Sedangkan etika adalah filsafat moral atau refleksi filosofis mengenai moral. Moral bersifat normative sekaligus imperative. Sementara itu, etika bisa saja bersifat hipotesis. Moral dan etika pada dasarnya sama karena keduanya merujuk pada sikap, watak dan perilaku, yang ditinjau dari segi kebenaran atau kesalahannya, atau dari kebaikan atau kejahatannya. Hanya saja, moral dianggap bersumber pada wahyu, sedangkan etika bersumber pada nurani. Karena sama, maka moral dan etika bisa disebut dalam satu ungkapan “moret” (moral dan etika) atau “moral-etika”, yaitu: “telaah dan sekaligus juga anjuran untuk bersikap, mengambil keputusan dan bertindak tentang “amar makruf, nahi munkar” ; tentang memilih kebaikan dan menjauhi kebatilan. Moral dan etika, meskipun bisa dibedakan, sesungguhnya tidaklah berbeda secara prinsipiil. Perbincangan mengenai moral dan etika memiliki kepentingan yang sama, yaitu mengajak orang untuk bersikap, mengambil keputusan, serta bertindak memilih kebaikan dan menjauhi kebatilan.
b.    Perbincangan mengenai moral-etika (moret) erat kaitannya dengan, karenanya sebaiknya tak dilepaskan dari, masalah kebudayaan. Kebudayaan dipahami meliputi baik kesenian, iptek, moret dan hal-hal lainnya yang terkait. Jadi etika adalah bagian kebidayaan. Akan tetapi patut dicatat, meskipun “hanya” merupakan salah satu bagian saja dari unsure kebudayaan, serta merupakan bagian yang amat penting, etika (nilai-nilai budaya) menentukan sifat dan corak dari pikiran, acar berpikir, serta tingkah laku manusia dari suatu lingkungan kebudayaan.
c.    Lemahnya etika dalam kehidupan bangsa ini bukan sekadar persoalan budaya yang berdimensi individual. Melainkan, ia merupakan persoalan yang berdimensi historis-struktural. Dalam arti, kegagalan budaya beretika itu sesungguhnya bermula dan beroperasi dalam relasi-relasi kekuasaan yang tidak adil atau tidak menghargai martabat manusia, yang telah berlangsung sejak zaman penjajahan. Bisa diduga, relasi-relasi kekuasaan yang tidak menghargai martabat manusia itu masih terus berlanjut hingga kini. Kadar dan manifestasinya bisa saja berbeda zaman penjajahan, Orde Lama dan Orde Baru hingga era reformasi sekarang ini. Namun demikian, betapa pun berbeda, hal itu tetap saja potensial mengakibatkan terjadinya kelumpuhan budaya. Itulah sebabnya, wacana etika mesti menyoal relasi-relasi kekuasan. Etika tidak mencukupi manakala hanya berkutat pada ranah kehidupan individual. Etika mesti menjangkau ranah kehidupan social (politik). Disanalah tempat beroperasinya relasi-relasi kekuasaan yang tidak menghargai martabat manusia. Implikasinya bagu dunia keilmuan; etika mesti menyoal tentang ilmu (pengetahuan).
d.    Tepatnya etika mesti menalaah dan menyikapkan hal-hal (yang disembunyikan) yang ada dibalik relasi antara (ilmu) pengetahuan dan kekuasaan. Seorang ilmuwan rentan terhadap godaan kekuasaan. Ungkapan bijak: kata-kata memang bisa menggerakkan orang, namun keteladananlah yang menawan hati (Verba movent exampla trahunt). Pesan religious-etis-bijak Immanuel Kant (1724-1804): “Hendaklah setiap orang sedapat mungkin berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Hanya bila ia tidak menyembunyikan talentanya dalam tanah, tapi menggunakan bakat aslinya sebaik-baiknya untuk menjadi manusia yang lebih baik, barulah ia boleh berharap bahwa dengan bantuan dari atas akan dilengkapkan yang di luar kemampuannya. Tidak begitu perlu ia tahu persis apa bantuan itu…”.
  1. Pribadi Bijaksana
a.    Immanuel Kant mempunyai pesona tersendiri terutama perihal keteguhan Kant dalam menempatkan ilmu dan nilai-nilai sebagai dua hal yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Bersitan kesan seperti itu tampak jelas dalam kata-kata : “Dua hal memenuhi pikiran dengan ketakjuban dan ketakut-takziman yang terus-menerus meningkat: langit nan bertabur bintang nun diatasku, dan hukum moral di dalam hati-sanubariku”. Menentukan sikap ketika menghadapi momen pertentangan, cenderung (meski tidak selalu) memilih keugaharian (sikap mederat) dan keselarasan. Sikap inklusif lebih baik dari pada bersikap eksklusif. Dalam menghadapi pertentangan, adalah baik jika tidak memihak salah satu kubu dan sedapat mungkin merangkul keduanya.
b.    Secara praktis, setiap orang hendaknya bersikap dengan pendekatan “baik-ini-maupun-itu” atau bisa juga “bukan-ini-bukan-itu”. Barang siapa bersedia bersikap moderat, dialah pribadi bijaksana. Sebab, ia telah memenuhi kewajiban hidup yang dituntut oleh tertib kosmis, yaitu lingkungan konkret di mana dia berada. Sebaliknya, barang siapa tidak mau bersikap moderat adalah bodoh. Ya, bodoh, karena ia belum tahu cara hidup mana yang sesungguhnya menjadi kebutuhannya yang sejati dan sungguh bermakna badi kebaikan bersama.
  1. Nalar dan Kebisaaan
a.    Pertimbangan logika (nalar), etika dan estetika manusia sebagai insane bernalar harus menonjol dalam penentuan sikap dan tindakan. Apakah pilihan etis pada sikap moderat lebih ditentukan oleh penalaran ? ataukah, pilihan itu sesungguhnya lebih ditentukan oleh hal-hal yang terbentuk di sepanjang sejarah kehidupan yaitu habitus dalam pola asuh sejak masa kanak-kanak?. Menurut Arsitoteles, keutamaan hidup didapat bukan pertama-tama melalui pengetahuan (nalar), melainkan melalui habitus, yaitu kebisaaan melakukan yang baik. Mengapa? Karena, demikian dijelaskan lebih lanjut oleh Anthony Giddens, kebisaaan itu menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan orang untuk bertindak. Melalui habitus, orang tak perlu susah payah bernalar, mengambil jarak atau memberi makna setiap kali hendak bertindak.
b.    Lain lagi menurut paradigm pendidikan konstruktivistik. Disini, ada dua kemungkinan jawaban. Itu tergantung pada pandangan konstruktivistik mana yang dirujuk. Menurut pandangan konstruktivistik modern, pengetahuan itu milik individu, yang dibangun melalui proses penarikan kesimpulan. Konsekuensinya, nalar bersifat menentukan dalam pilihan tindakan individu. Sementara itu, menurut pandangan konstruktivistik postmodern, pengetahuan merupakan milik kolektif yang dikelola serta diatur sedemikian rupa dan merupakan hasil dari konstruksi social. Konsekuensinya, kebisaaan bersifat menentukan dalam pilihan tindakan individu. Jadi, mana yang lebih menentukan dalam pengambilan keputusan etis seseorang, nalar ataukah kebisaaan? Entahlah. Konon, para ahli psikologi pun kebingungan untuk menjawabnya, mereka bertanya-tanya: bagaimana bisa orang yang jelas-jelas sedemikian cerdas malah melakukan tindakan yang tak bernalar? Pertanyaan itu mengemuka karena mereka menemukan banyak fakta mengenai orang cerdas (bahkan sangat cerdas) yang tidak becus menjadi pilot yang baik atas kehidupan etis mereka. Hanya saja, masalahnya, yang sebaliknya juga banyak. Maksudnya, banyak orang cerdas yang sanggup menjadi pilot yang sangat baik atas kehidupan etis mereka.
c.    Jika demikian, boleh jadi kurang tepat memahami peran nalar dan kebiasaaan dalam pengambilan keputusan etis, secara dikotomis: “ini-atau-itu”. Mungkin untuk sementara lebih aman memahaminya secara moderat: “baik ini-maupun-itu”. Artinya bahwa nalar dan kebisaaan sama-sama menentukan dalam pengambilan keputusan etis. Kecuali, bila uji falsifikasi menyanggahnya. Entah dengan cara bagaimana, nalar dan kebisaaan secara bersama-sama dapat membentuk sejarah kehidupan seseorang sedemikian rupa sehingga menjadi “teks pendidikan” yang bermutu; menjadi guru integritas. Rasanya, itulah magnum opus Pak Liek; menjadi teladan mengenai pentingnya membisaakan hidup bernalar, religious, serta berbudaya etis dan bijaksana. Ia layak dibaca dan dipelajari oleh siapa saja, terutama para pendidik yang berkomitmen menjadi pendidik karakter bagi kaum muda.*)

.



Guru dan Tugasnya


1.    Siapakah Guru
a.    Guru sebagai pribadi
Seperti halnya pribadi-pribadi yang lain pembentukan pribadi guru, dipengaruhi faktor-faktor yang berasal dari lingkungan keluarganya, sekolahnya tempat ia dulu belajar, masyarakat sekitar serta kondisi dan situasi sekolah di mana ia sekarang bekerja. Dengan tidak mengabaikan pengaruh lingkungan yang lain, besar sekali pengaruh dari pengalaman pendidikannya di sekolah tempat dia mempersiapkan diri dalam tugasnya sebagai guru. Guru adalah suatu profesi. Sebelum ia bekerja sebagai guru, terlebih dahulu dididik dalam suatu lembaga pendidikan keguruan. Dalam lembaga pendidikan tersebut, ia bukan hanya belajar ilmu pengetahuan atau bidang studi yang akan diajarkan, ilmu dan metode mengajar, tetapi juga dibina agar memiliki kepribadian sebagai guru. Kepribadian dia sebagai guru, sudah tentu tidak dapat dipisahkan dari kepribadiannya sebagai sebagai individu.
b.    Guru sebagai pendidik dan pengajar
Guru mempunyai peranan ganda sebagai pengajar dan pendidik. Kedua peran tersebut bisa dilihat perbedaannya, tetapi tidak bisa dipisahkan. Tugas utama sebagai pendidik adalah membantu mendewasakan anak. Dewasa secara psikologis, sosial, dan moral. Dewasa secara psikologis berarti individu telah bisa berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain, jugatelah mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mampu bersikap objektif. Dewasa secara sosial berarti telah mampu menjalin hubungan sosial dan kerjasama dengan orang dewasa lainnya, telah mampu melaksanakan peran-peran sosial. Dewasa secara moral, yaitu telah memiliki seperangkat nilai yang ia akui kebenarannya, ia pegang teguh dan mampu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangannya.
Tugas utama guru sebagai pengajar adalah membantu perkembangan intelektual, afektif dan psikomotor, melalui menyampaikan pengetahuan, pemecahan masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan. Pada waktu guru menyampaikan pengetahuan dll., tidak mungkin terlepas dari upaya mendewasakan anak, dan upaya mendewasakan anak tidak mungkin dilepaskan dari mengajar (menyampaikan pengetahuan dll). Keduanya sukar untuk dipisahkan, pada suatu saat mungkin peranannya sebagai pendidik lebih besar sedang pada saat lain peranannya sebagai guru yang lebih besar. Guru sebagai pendidik terutama berperan dalam menanamkan nilai-nilai yang merupakan ideal dan standar dalam masyarakat. Sebagai pendidik guru bukan hanya penanam dan pembina nilai-nilai tetapi ia juga berperan sebagai model, sebagai contoh suri teladan bagi anak-anak. Oleh karena itu tidak heran apabila banyak tuntutan yang diarahkan kepada guru. Semua nilai-nilai baik yang ada dalam masyarakat, dituntut untuk dimiliki oleh seorang guru.
c.    Guru sebagai pembimbing
Selain sebagai pendidik dan pengajar juga guru punya peran sebagai pembimbing. Perkembangan anak tidak selalu mulus dan lancar, adakalanya lambat dan mungkin juga berhenti sama sekali. Dalam situasi seperti itu mereka perlu mendapatkan bantuan atau bimbingan. Dalam upaya membantu anak mengatasi kesulitan atau hambatan yang dihadapi dalam perkembangannya, guru berperan sebagai pembimbing. Sebagai pembimbing, guru perlu memiliki pemahaman yang seksama tentang para siswanya, memahami segala potensi dan kelemahannya, masalah dan kesulitan-kesulitannya, dengan segala latar belakangnya. Agar tercapai kondisi seperti itu, guru perlu banyak mendekati para siswa, membina hubungan yang lebih dekat dan akrab, melakukan pengamatan dari dekat serta mengadakan dialog-dialog langsung. Dalam situasi hubungan yang akrab dan bersahabat, para siswa akan lebih terbuka dan berani mengemukakan segala persoalan dan hambatan yang dihadapinya. Melalui situasi seperti itu pula, guru dapat membantu para siswa memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
2.    Kematangan Kepribadian Guru
a.    Kedewasaan
Guru sebagai pribadi, pendidik, pengajar dan pembimbing, dituntut memiliki kematangan atau kedewasaan pribadi, serta kesehatan jasmani dan rohani. Minimal ada tiga ciri kedewasaan.
Pertama, orang yang telah dewasa telah memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Seorang yang telah dewasa tidak mudah terombang-ambing karena telah punya pegangan yang jelas, ke mana akan pergi, dan dengan cara mana ia mencapainya.
Kedua, orang dewasa adalah orang mampu melihat segala sesuatu secara obyektif. Tidak banyak dipengaruhi oleh subjektivitas dirinya. Mampu melihat dirinya dan orang lain secara objektif, melihat kelebihan dan kekurangan dirinya dan juga orang lain. Lebih dari itu ia mampu bertindak sesuai dengan hasil penglihatan tersebut.
Ketiga, seorang dewasa adalah orang yang telah bisa bertanggung jawab. Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan; tetapi sisi lain dari kebebasan adalah tanggung jawab. Dia bebas menentukan arah hidupnya, perbuatannya, tetapi setelah berbuat ia dituntut tanggung jawab. Guru harus terdiri atas orang-orang yang bisa bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Untuk dapat menyajikan dan menyampaikan materi pengetahuan atau bidang studi dengan tepat, guru juga dituntut menguasai strategi atau metoda mengajar dengan baik. Ia diharapkan dapat mempersiapkan pengajaran, melaksanakan dan menilai hasil belajar para siswa dengan baik. Dapat memilih dan menggunakan model-model interaksi belajar-mengajar yang tepat, mengelola kelas dan membimbing perkembangan siswa dengan tepat pula.
Ketepatan pemilihan dan penyiapan bahan pengajaran, ketepatan penentuan model mengajar dan teknik-teknik pengelolaan dan pembimbingan siswa, dilandasi pula oleh penguasaan guru akan konsep dan prinsip-prinsip pendidikan dan keguruan. Konsep dan prinsip-prinsip ini diberikan dalam Ilmu Pendidikan, Psikologi, Pengembangan Kurikulum, Metodologi Pengajaran, Bimbingan Penyuluhan, Administrasi Pendidikan dll. Guru professional perlu menguasai bidang-bidang pengetahuan tersebut secara memadai.
b.    Kesehatan Fisik dan Psikis
Guru dituntut memiliki fisik dan mental yang sehat. Fisik yang sehat berarti terhindar dari berbagai macam penyakit. Guru yang sakit bukan saja tidak mungkin dapat melaksanakan tugas dengan baik tetapi juga kemungkinan besar akan menularkan penyakitnya kepada anak-anak.
Guru tidak boleh memkiliki cacat badan yang menonjol yang memungkinkan kurangnya penghargaan dari anak-anak. Kesehatan mental berarti guru terhindar dari berbagai bentuk gangguan dan penyakit mental.
c.    Kemampuan Profesional
1)    Penguasaan Ilmu dan Ketrampilan Keguruan
Guru merupakan suatu pekerjaan profesional dan oleh karenanya untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan baik, selain harus memenuhi syarat-syarat kedewasaan, sehat jasmani dan rohani, guru juga harus memiliki ilmu dan kecakapan-kecakapan dan ketrampilan keguruan. Hal ini diperoleh di lembaga pendidikan guru.
Agar mampu menyampaikan ilmu pengetahuan atau bidang studi yang diajarkannya ia harus menguasai ilmu atau bidang tersebut secara lluas dan mendalam. Ia juga dituntut menguasai strategi  dan metoda amengajar dengan baik. Mempersiapkan bahan pengajaran, melaksanakan dan menilai hasil belajar. Memilih dan menggunakan model-model intetraksi belajar-mengajar yang tepat, mengelola kelas dan membimbing [perkembangan siswa dengan tepat.
2)    Sifat dan sikap professional
Selain pengetahuan dan kecakapan-kecakapan di atas, ada beberapa sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh guru professional, yaitu:
a)  Fleksibel. Seorang guru adalah orang yang telah mempunyai pegangan hidup, telah punya prinsip, pendirian dan keyakinan sendiri, baik di dalam nilai-nilai maupun ilmu pengetahuan. Dalam menyatakan dan menyampaikan prinsip dan pendiriannya ia harus fleksibel, tidak kaku, disesuaikan dengan situasi, tahap perkembangan, kemampuan, sifat-sifat serta latar belakang siswa. Guru harus bisa bertindak bijaksana, yaitu menggunakan cara atau pendekatan yang tepat, terhadap orang yang tepat dalam situasi yang tepat.
b)     Bersikap terbuka. Seorang guru hendaknya memiliki sifat terbuka, baik untuk menerima kedatangan siswa, untuk ditanya oleh siswa, untuk diminta bantuan, juga untuk mengoreksi diri. Kelemahan atau kesulitan yang dihadapi oleh para siswa adakalanya disebabkan karena kelemahan atau kesalahan pada guru. Untuk memperbaiki kelemahan siswa, terlebih dulu harus didahului oleh perbaikan pada diri guru. Upaya ini menuntut keterbukaan pada pihak guru.
c)     Berdiri sendiri. Seorang guru adalah orang yang telah dewasa, ia telah sanggup berdiri sendiri, baik secara intelektual, sosial  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS TONGGAK-TONGGAK SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

Pendorong Wirausaha (2)

Pendorong Wirausaha (1)