KOSGORO : Group Diskusi Pancasila
KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Pemaknaan pada Harkat dan Martabat Bangsa
Indonesia[1]
Oleh
Hari Widodo
“Bahwa kita bersama-sama
mencari dasar
filosofi yang kita semuanya sepakati, sebagai dasar negara Indonesia, yang
didalamnya terkandung nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia”.[2]
Pengantar
Forum
Reboan – Group Diskusi Nasional KOSGORO, telah memasuki pertemuan ke-8 pada
Rabu lalu tanggal 20 Juni 2012 yang secara khusus membahas esensi Pancasila
dalam tinjauan makna pada sila-silanya. Minggu lalu secara khusus Bung Yahya
Habib membahas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan untuk Rabu ini dalam Forum
Reboan ke-9, akan dicoba melanjutkan pada Sila ke-2, yakni: “Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab”.
Pembahasan
terhadap Pancasila merupakan pembahasan yang tidak boleh lepas dari sumber
nilai filosofis, sosiologis, psikologis dan yuridis, yang akan memberi pengaruh
kuat pada implementasinya dalam kehidupan nyata di setiap aspek kehidupan.
Memaknai Pancasila adalah bagian dari memuliakan sejarah kehidupan manusia yang
terbangun atas dasar kesamaan derajat dan kesamaan hak untuk hidup bersama
tanpa ada superior atas satu dengan
yang lainnya.
Pada
Sila ke-2 dari Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, jelas menunjukkan
keseriusan yang teramat sangat dalam memaknai “manusia” pada nilai-nilai
“kemanusiaan” yang merupakan kodrati langsung dari Sang Pencipta untuk
diselenggarakan secara “Adil dan Beradab”.
Pertama-tama,
akan dicoba untuk dilihat dari makna kata dalam sila kedua ini, yang tersusun
dalam kalimat “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Kalimat tersebut setidaknya
mengandung kata dasar utama, yakni: Manusia, Adil dan Adab, yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI)[3], dinyatakan bahwa:
·
Manusia berarti mahluk yang berakal budi (mampu
menguasai mahluk lain), insan atau orang. Sedangkan Kemanusiaan berarti terkait
dengan sifat-sifat manusia, secara manusia atau sebagai manusia[4].
·
Adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak.
Adil dapat juga dimaknai sebagai keberpihakan pada kebenaran atau suatu sikap
yang sepatutnya dan tidak sewenang-wenang.
·
Adab berarti kesopanan, kehalusan, kebaikan budi
pekerti atau terkait dengan ahlak. Sedangkan Beradab memiliki makna mempunyai
adab, sopan santun, berbudi pekerti yang baik serta telah maju tingkat kehidupan
lahir batinnya[5].
·
Sedangkan kata “yang”[6] menunjukan bahwa kata
“adil” dan “beradab” menjadi “diutamakan” dalam memaknai “Kemanusiaan”.
Pengertian kata “dan”[7] menunjukkan hubungan yang
setara antara “adil” - “beradab”, serta memiliki fungsi yang tidak berbeda.
Jadi
dari sisi bahasa, “Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab” dapat diartikan sebagai upaya
menempatkan sifat-sifat kemanusiaan dalam keberpihakannya pada kebenaran atau
kepatutan yang didasari atas kesopanan dan budi pekerti yang baik. Makna
kalimat tersebut menunjukkan betapa tingginya keluhuran budi pekerti bangsa
Indonesia yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan secara lahir batin dalam
tata cara yang sopan dan santun serta tidak berpihak secara subyektif melainkan
hanya pada nilai-nilai kebenaran.
Sementara
itu konteks “Adil dan Beradab” adalah satu kesatuan makna yang tidak boleh
dilepaskan secara sendiri-sendiri, karena keadilan adalah relatif, yang dapat
dipahami dalam pengertian adil secara distributif
(sama rasa dan sama rata) maupun adil dalam pengertian kumulatif (proporsional). Kedua pengertian tersebut dapat berjalan
secara beriringan dan diberlakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
terjadi dalam perspektif obyektif.
Hanya
saja harus dibedakan pengertian “adil” dalam pemahaman kodrati irrasional yang
hanya dimiliki oleh Tuhan YME, tentu berbeda dengan pemahaman kodrati rasional
yang ditentukan oleh manusia. Kodrati irrasional adalah rasionalitas yang
dimiliki Tuhan YME yang tidak akan mungkin terjangkau oleh rasio manusia yang
sangat terbatas, sehingga keadilan bagi Tuhan dalam terminologi Islam
dinyatakan bahwa “semua manusia sama di hadapan Allah kecuali ke-Taqwa-annya kepada Allah itu yang
membedakannya” dan ukuran Taqwa hanya
Allah yang mengetahui.
Sebagai Warisan Kearifan Lokal Bangsa Indonesia
Perjalanan
panjang menuju terbangunnya kesadaran sebagai satu bangsa yang berdaulat,
merupakan manifestasi pengalaman batin yang berlangsung dalam kurun waktu
belasan abad bahkan mungkin puluhan abad yang lalu jika kita mulai perhitungan
sejak masa sebelum masehi. Perhitungan kemungkinan tersebut tidaklah berlebihan
karena bangsa Indonesia adalah bangsa “tua”, yang dalam peradaban dunia telah
diyakini berusia ribuan bahkan mungkin ratusan ribu tahun yang lalu. Hal ini
dapat diperiksa dalam berbagai pendapat, antara lain pendapat Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa:
”Manusia Indonesia yang tertua sudah ada sejak setengah
juta tahun yang lalu, waktu Dataran Sunda masih merupakan daratan dan Asia
Tenggara bagian dari benua serta kepulauan masih saling bersambung menjadi
satu”.[8]
Walaupun kesatuan wilayah yang disebut Indonesia sekarang[9],
terdiri dari beragam adat istiadat, suku, bahasa bahkan kondisi geografis yang
ketika itu sangat sukar untuk menjalin komunikasi dengan baik, namun kesadaran
berbangsa tetap tumbuh dengan subur. Tumbuhnya kesadaran tersebut bukan atas
dasar kepentingan maupun ikatan politik semata, tetapi lebih karena latar
belakang budaya, yang oleh Herqutanto[10]
dinyatakan melalui pendekatan social
setting, bahwa kesamaan dalam sistem pertanian merupakan salah satu unsur
terjadinya integrasi bangsa Indonesia, yang menjadi dasar orientasi bangsa
Indonesia sejak masa prasejarah adalah masyarakat agraris yang bersifat statis[11].
Sedangkan social setting menurut
Soepomo lebih didasari atas dasar keserasian adat dan hukum adat antar
masyarakat Indonesia[12].
Social Setting inilah yang memudahkan terbentuknya integrasi bangsa
dengan mengambil tonggak pergerakan kebangsaan Indonesia sejak tahun 1900-an. Latar
belakang motivasi dan orientasi perjuangan pergerakan yang muncul pada masa-masa
tersebut, telah meninggalkan corak kedaerahan serta bertujuan mencapai
”Indonesia Merdeka”. Dengan tidak mengecilkan arti pergerakan perjuangan yang
bersifat sporadis, yang mengilhami
semangat pergerakan kebangsaan yang muncul kemudian, bahwa seluruh pergerakan
yang ditujukan untuk menentang penjajahan dan penghisapan yang dilakukan oleh
bangsa lain atas bangsa Indonesia, seluruhnya memiliki andil yang besar dan tak
ternilai harganya, sehingga mampu mengantarkan Bangsa Indonesia menuju bangsa
yang merdeka dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945. Selain itu, masa
pendudukan Jepang tahun 1942[13],
semakin memberikan pengaruh pada perjuangan organisasi kebangsaan yang sudah
semakin mengkristal dalam upaya menuju Indonesia Merdeka.
Social setting dan pergerakan kebangsaan merupakan manifestasi atas kearifan
lokal masyarakat nusantara yang memiliki kesamaan karakter sebagai masyarakat
petani yang statis dalam beragam corak budaya, adat dan hukum adat. Kesamaan
ini membentuk semangat untuk membangun suatu tatanan masyarakat dalam
persekutuan hukum yang kuat dengan memberikan penghormatan pada hak-hak
individu sebagai manusia dan sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga. Oleh
karena itu penghormatan bangsa Indonesia pada nilai-nilai kemanusiaan telah
terbentuk sejak dini dan melekat kuat dalam penghayatan budaya maupun
kepercayaan pada kekuasaan Illahiah.
Warisan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku sebagai
tradisi dalam kehidupan masyarakat nusantara, merupakan pengejawantahan dari
kesadaran bahwa manusia ada karena ada yang menciptakannya sehingga
penghormatan kepada sang pencipta salah satunya melalui ciptaannya. Kesadaran
tersebut yang mendorong tumbuhnya sifat kekerabatan yang kuat dalam tradisi
masyarakat, yang dikenal dengan istilah Paguyuban
pada masyarakat Jawa maupun Pela Gandong
dalam masyarakat Maluku.
Jadi tegasnya masyarakat nusantara telah sejak lama
menghayati sekaligus mengamalkan penghormatan pada hak-hak kodrati manusia,
bahkan dalam kurun waktu yang tidak berbeda jauh dengan peletakan dasar
penghargaan hak-hak individu sebagaimana tercantum dalam Piagam Madinah tahun
622 M dan jauh sebelum Piagam Magna Charta 1215 M di Inggris dibuat. Hal
tersebut dapat dilihat pada catatan sejarah masa lalu yang menceritakan tentang
Kerajaan Kalinggga atau Kaling atau Ho-Ling[14]
pada sekitar tahun 674 M (abad ke-7) di sekitar wilayah Kabupaten Jepara
sekarang, di masa kepemimpinan Ratu Shima yang telah menegakkan hak dan
kewajiban setiap rakyatnya secara adil, tanpa pandang bulu.
Sangat berbeda misalnya dengan yang terjadi saat Revolusi
Perancis 1789 dengan Trilogi: Kemerdekaan – Persamaan – Persaudaraan, yang
tidak pernah terwujud dalam kehidupan nyata, karena lebih mengedepankan
kemerdekaan individual semata namun melupakan persamaan dan persaudaraan[15].
Sementara di Indonesia melalui Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sangat
jelas hak individu dihormati dan dihargai namun terbalut dalam nilai-nilai
kebersamaan dan kekeluargaan yang adil serta bertatakrama, sehingga tidak ”bablas” menjadi pemujaan pada hak
individu yang cenderung individualistik[16].
Penghargaan dan Penghormatan atas Harkat dan
Martabat Bangsa Indonesia
Eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,
mengandung pengertian akan keinginan yang kuat untuk mengangkat harkat -
martabat bangsa Indonesia dan harkat – martabat rakyat Indonesia dimanapun dia
berada. Harkat dan martabat tersebut melekat kuat dalam setiap individu bangsa
Indonesia, harkat dan martabat satu orang rakyat Indonesia adalah harkat dan
martabat seluruh bangsa Indonesia.
Keyakinan inilah yang menjadi pendorong tumbuh dan
berkembangnya semangat kebangsaan yang didasari atas satu tujuan bersama untuk
menjadi bangsa dan rakyat Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh, agar
dapat mengangkat harkat dan martabat sebagai bangsa, baik dalam kehidupan
pribadi maupun dalam kehidupan kolektif. Pengertian harkat sendiri menurut KBBI[17]
adalah derajat atau kemuliaan sedangkan martabat[18]
adalah kehormatan atau harga diri sebagaimana harkat kemanusiaan itu sendiri.
Pergerakan kebangsaan yang tumbuh sebagai bentuk
aktualisasi ide, gagasan dan tujuan untuk mencapai kebebasan dan kedaulatan
penuh sebagai bangsa yang merdeka berharkat dan bermartabat, pada awalnya tidak
dalam ikatan kesatuan dan persatuan secara formil[19],
namun sudah mengarah pada keinginan bersatu sebagai satu bangsa. Pergerakan-pergerakan
tersebut, antara lain:
·
Tahun 1905 di Solo, Jawa
Tengah berdiri organisasi kerakyatan yang berlandaskan Islam, yakni Sarekat
Islam (SI)[20] yang
didirikan oleh H. Oemar Said Cokroaminoto, dengan tujuan[21]
memajukan perdagangan bangsa Indonesia[22],
memajukan kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama.
·
Tanggal 20 Mei 1908 di STOVIA
(School
Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) diresmikan berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo[23].
Tujuan awalnya sebagai aktifitas pengumpulan dana bagi pendidikan bumiputera (studie founds) yang digagas oleh dr.
Wahidin Soedirohusodo, untuk ”mematangkan
secara politik rakyat di Pulau Jawa dengan meningkatkan kemajuan orang Jawa dan
perjuangan rakyat Jawa guna meringankan beban kehidupan”[24].
Perkumpulan ini selanjutnya menginspirasi tumbuh kembangnya
organisasi-organisasi kebangsaan yang tidak lagi bersifat kedaerahan tapi dalam
satu tujuan bersama sebagai satu bangsa yang berdaulat.[25]
·
Tahun 1912, di Yogyakarta berdiri
organisasi Islam ”Muhammadiyah”[26]
oleh K.H. Achmad Dahlan. Organisasi ini berdiri karena kondisi masyarakat Islam
di Jawa yang masih terpengaruh sinkretisme, sekaligus terinspirasi oleh
pemikiran Syech Muhammad Abduh dan Syech Muhammad Abdul Wahab, sehingga
Muhammadiyah kerap dikaitkan dengan Paham Gerakan Wahabi yang bersumber dari
Saudi Arabia.[27]
·
Tahun 1912 dibentuk Indische Partij (Partai Indonesia)[28]
oleh tiga serangkai Douwes Dekker (Dr. Setia Budi), Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantoro), dengan tujuan Indonesia Merdeka yang
berlandaskan Kebangsaan Indonesia. Organisasi ini bergerak dalam bidang politik
dan keanggotaan bersifat terbuka untuk semua daerah dan golongan.
·
Tahun 1915 terbentuk
organisasi pemuda”Tri Koro Dharmo” (Tiga Tujuan Utama)[29],
yang kemudian berubah menjadi ”Jong Java”[30]
dan sebagai pionir terbentuknya jong-jong lainnya.
·
Tahun 1919, setelah
dibubarkannya Partai Indonesia (Indische
Partij), dibentuklah organisasi baru yaitu Insulinde[31]
(Indonesia), yang kemudian menjadi National
Indische Partij atau Partai Nasional Indonesia.[32]
·
Tahun 1926 berdiri
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta dan Bandung, dan pada
tahun 1927 di Bandung, berubah menjadi ”Pemuda Indonesia”.
·
Tahun 1927 berdiri Partai
Nasional Indonesia (PNI)[33],
awalnya bernama Perserikatan Nasional Indonesia, oleh Soekarno, Sartono dan
Sunaryo, dengan tujuan ”Indonesia Merdeka” yang didasari atas semangat
Nasionalisme dan bersikap non-cooperative,
yang menghimpun potensi pergerakan dalam Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI), dengan anggota PNI, PSI (Partai Sosialis
Indonesia), Budi Utomo, Kaum Betawi, Paguyuban Pasundan dan beberapa organisasi
lainnya. Perhimpunan untuk menjamin persatuan dari seluruh pergerakan
kebangsaan yang mulai bertumbuhan, agar tidak terpecah belah.
·
Walaupun PPPKI dibubarkan pada
tahun 1933, namun memberikan andil yang besar terhadap penyelenggaraan
peristiwa ”Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928, melalui sosialisasi tiga prinsip
utama PPPKI, yaitu: Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kebangsaan; Indonesia Raya
sebagai Lagu Kebangsaan; dan Bendera Merah Putih sebagai Bendera Kebangsaan.[34]
·
Tahun 1935 berdiri Partai
Indonesia Raya (Parindra)[35]
oleh Dr. Sutomo, sebagai gabungan dari Studie
Club Surabaya[36]
dan Serikat Madura, kemudian menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), yang
didalamnya bergabung juga Budi Utomo, Serikat Celebes, Sarikat Sumatera dan
Sarikat Ambon. Tujuannya mewujudkan Indonesia mulia dan sempurna melalui jalan cooperative kadang juga non-cooperative. Tokoh Parindra yang lain:
Muhammad Husni Thamrin, Susanto Tjiptoprodjo dan Sukardji Wirdjopranoto.
·
Tahun 1936[37],
Partindo dibubarkan dan dibentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)[38] oleh Sartono, Muhammad Yamin, Amir
Syarifuddin, Sanusi Pane, A.K. Gani dan beberapa lainnya, dengan tujuan
Indonesia Merdeka dengan cooperative
guna menghindari tekanan dari pihak Belanda.
·
Tahun 1939, para tokoh
Parindra, Gerindo, PSII, PII, Persatuan Minahasa dan Paguyuban Pasundan
membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI)[39],
dengan tuntutan kepada Belanda agar ”Indonesia Berparlemen” secara nyata bukan
hanya sandiwara seperti Volksraad (dewan
rakyat)[40].
GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia untuk memperkuat tuntutan
Indonesia Berparlemen[41],
dengan komitmen bahwa Merah Putih adalah Bendera Persatuan, Indonesia Raya
sebagai Lagu Persatuan dan Bahasa Indonesia adalah Bahasa Persatuan dan pada
tahun 1941, Kongres Rakyat Indonesia menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI)
sebagai Badan Perwakilan Rakyat Indonesia (parlemen) walaupun kemudian tuntutan
tersebut di tolak Pemerintah Kolonial Belanda.
·
Pergerakan kebangsaan yang
digagas kaum wanita didirikan dalam gerakan penyadaran sebagai bangsa harus
bangkit dari ketertindasan[42],
antara lain:
·
Raden
Ajeng Kartini (1879-1904), dengan konsep emansipasi wanita melalui kumpulan
surat-suratnya ”Habis Gelap Terbitlah Terang”[43]
menginspirasi bangkitnya gerakan perlawanan moral dari kaum wanita di
Indonesia.
·
Di
Bandung, Jawa Barat, R. Dewi Sartika (1884–1947), melalui sekolah khusus untuk
wanita yang disebut ”Sekolah Keutamaan Isteri”.[44]
·
Tahun
1912 di Jakarta berdiri organisasi Putri Mardika, sebagai perpanjangan
perjuangan Budi Utomo bagi pergerakan wanita Indonesia. Selanjutnya bermunculan
organisasi wanita lainnya, seperti: Wanudyo Utomo (Sarekat Islam), Aisyiyah
(Muhammadiyah), Wanito Mulyo, Wanito Katholik, Wanito Utomo, dan lain-lain,
yang pada tanggal 22-25 Desember 1928 mengadakan Kongres Wanita I di
Yogyakarta, dengan kesepakatan membentuk Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia
(PPPI) dan tanggal 22 Desember tersebut hingga kini diperingati sebagai ”Hari
Ibu”[45].
Pergerakan-pergerakan
tersebut hanyalah sebagian kecil dari pergerakan yang timbul sebagai reaksi
atas penindasan yang dilakukan oleh penjajahan kolonial Belanda. Atas dasar
kemanusiaan dan kesadaran sebagai bangsa dan rakyat yang berharkat dan
bermartabat, maka keinginan untuk merdeka dan berdaulat penuh mendorong
semangat perjuangan tersebut yang oleh Sukarno dikatakan sebagai ”jembatan emas”
menuju kemerdekaan Indonesia.
Selain pergerakan kebangsaan masa-masa kolonial Belanda
sampai dengan tahun 1942, ketika pendudukan Jepang antara tahun 1942 – 1945
juga banyak berdiri perkumpulan-perkumpulan walaupun bersifat top down, namun selalu terbina semangat
kebangsaan dalam perjuangannya mencapai Indonesia Merdeka, antara lain:
·
Tahun 1942
dibentuk Gerakan 3 A[46], yakni Jepang sebagai
Pemimpin, Pelindung dan Cahaya Asia. Organisasi ini diketuai oleh Mr.
Syamsuddin. Gerakan dibubarkan Jepang karena ternyata dipergunakan untuk
membangkitkan kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat Indonesia pada waktu
itu. Selanjutnya dibentuk organisasi baru yakni PUTERA atau Pusat Tenaga Rakyat[47], dengan ketua Soekarno,
dibantu Muhammad Hatta, Ki Hadjar Dewantoro dan K.H. Mas Masyur. Namun
organisasi ini kembali dibubarkan karena dijadikan sebagai alat perjuangan
mencapai kemerdekaan Indonesia.
·
Pada tahun 1943,
dibentuk lembaga kemiliteran resmi dengan nama PETA[48] atau Pembela Tanah Air di
Jawa, menyusul dibentuk Seinendan,
Keibodan dan di Sumatera dibentuk Gyugun)[49].
·
Pada tahun 1944,
dibentuk Jawa Hoko-kai (Kebaktian
Rakyat Jawa)[50].
Masa-masa ini adalah puncak penderitaan
rakyat Indonesia, sehingga timbul berbagai pemberontakkan di berbagai daerah
dan puncaknya pada tanggal 14 Februari 1945 tentara PETA yang dipimpin oleh
Supriyadi melakukan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang di Blitar[51], namun berhasil
digagalkan tentara Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang ini juga sebagai puncak
akumulasi semangat kebangsaan dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia[52]. Diawali dengan
pembentukan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
hingga PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang mempersiapkan naskah
UUD RI tahun 1945 dan dasar falsafah bangsa Indonesia, yang kemudian pada
tanggal 1 Juni 1945 di tetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia akhirnya
dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, yang menandai berdirinya bangsa
yang merdeka, berdaulat, berharkat dan bermartabat sejajar dengan bangsa-bangsa
lain di dunia. Inilah momentum penegasan akan makna penghormatan dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas nilai-nilai Kemanusiaan yang
diselenggarakan secara adil dan beradab dalam suatu pemerintahan yang berdaulat
dan berdiri sendiri, yang secara resmi dibentuk pada tanggal 18 Agustus 1945,
sebagai Negara Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila.
Kesimpulan
Pengembaraan batin Soekarno dalam proses perjuangan
pemikiran melalui ide dan gagasan serta pengalaman secara langsung berada di
tengah-tengah penderitaan rakyat Indonesia pada masa-masa penjajahan (Kolonial
Belanda maupun Pendudukan Jepang) serta ditambah oleh pemahaman sejarah akan
keberlangsungan perjalanan bangsa di Nusantara, telah mengantarkannya pada
suatu kesimpulan bahwa pentingnya satu dasar
filosofi yang menjadi kesepakatan bersama, sebagai dasar negara Indonesia, yang
didalamnya terkandung nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia.
Kristalisasi
nilai-nilai luhur tersebut bersumber dari kearifan lokal masyarakat Nusantara
yang sejak dahulu kala terus terpelihara dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Kristalisasi tersebut terformulasi dalam lima sila dan dinamakan
Pancasila. Salah satu sila, yakni yang kedua “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” merupakan salah satu nilai hakiki sebagai penghargaan dan penghormatan
terhadap Kekuasaan dan Ke-Esaan Tuhan, melalui penghormatan dan penghargaan
terhadap ciptaannya secara baik dan sopan serta mengutamakan obyektifitas dalam
implementasinya. Bangsa Indonesia senantiasa menghormati hak-hak individu dalam
balutan nilai kemanusiaan yang terbatasi oleh nilai kebebasan individu itu
sendiri. Memaknai hak individu dalam semangat ke-Indonesia-an adalah bahwa Hak
tersebut ada karena melekat kewajiban di dalamnya, sehingga hak tersebut dapat
dipergunakan sebaik-baiknya demi kepentingan bersama dalam semangat gotong
royong, sama rasa dan sama rata, dengan tidak ada lagi penindasan dan
penghisapan oleh sesama.
Penghargaan
pada nilai kemanusiaan menjadi bagian utama untuk memberikan pengertian dan
pemaknaan yang jelas akan arti manusia dalam beberapa pemahaman, yakni antara
lain: manusia sebagai homo sapiens
(manusia intelek); homo politicon
(manusia politik); homo social
(manusia social), yang dikaitkan dengan pepatah Latin homo homini lupus (dalam diri manusia terdapat sifat hewani) dapat
dilihat pada karakternya sebagai economic
animal (hewan ekonomi) dan beast of
war (hewan perang)[53], akan dapat dieliminir
melalui penegakkan nilai-nilai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sebagaimana
sila kedua Pancasila.
Manusia
Indonesia adalah manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan secara adil
dalam suatu peradaban yang patut. Hal tersebut sejatinya menjadi simbol dan
ciri bangsa Indonesia dalam pergaulan masyarakat internasional. Pancasila
adalah perekat kesatuan dan persatuan, seyogyanya bukan hanya untuk bangsa
Indonesia, tapi dapat berfungsi dan berperan dalam persatuan masyarakat dunia.
Melalui dasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka penghormatan dan penghargaan pada
nilai-nilai kemanusiaan akan menjadi hal yang mutlak secara universal.
Inilah
sejatinya nilai dan ketaatan pada human
right (hak asasi manusia) yang selalu dikedepankan oleh dunia barat. Bangsa
Indonesia sudah lebih dahulu mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan
penghormatan akan nilai-nilai atau hak asasi manusia, yang oleh bangsa
Indonesia diyakini sebagai Hak Kodrati anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga ketika penyusunan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan
Soepomo tetap bersikukuh bahwa pasal mengenai hak-hak asasi manusia tidak perlu
dirumuskan secara detail, karena penghargaan tersebut telah menyatu dalam jiwa
rakyat Indonesia secara kodrati. Namun akhirnya tahun 2002 apa yang dulu
diusulkan oleh Hatta berhasil dimasukan dalam UUD NRI tahun 1945 dalam pasal
28a – 28i melalui amandemen UUD hingga yang ke-empat.
Penutup
Demikian
paparan mengenai pengertian “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sebagaimana
tercantum dalam sila ke-dua Pancasila. Semoga yang sedikit ini akan menjadi
pengantar bagi Forum Diskusi Reboan – GDN KOSGORO dalam berdinamika membangun
tradisi intelektual di lingkungan KOSGORO.
Sangat
disadari yang sedikit inipun masih jauh dari sempurna bahkan masih banyak
terdapat kelemahan bahkan mungkin kekeliruan dalam penuturannya. Untuk itu
mpohon koreksi dan masukan-masukan agar dapat dilakukan perbaikan sebagaimana
mestinya
Akhirnya,
selamat berdiskusi dan berargumen, sekian dan terima kasih.
Daftar Pustaka
Achmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah-Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Bandung, Mizan, 1998
Arysio Santos, Atlantis The Lost Continental Finally Found, Jakarta, Ufuk Press,
2010
Bambang Sulistyanto, Balung Buto-Warisan Budaya Dunia Dalam
perspektif Masyarakat Sangiran, Yogyakarta, Kunci Ilmu, 2003
Bambang Susetyo, Saksi Zaman–Pelajaran Sejarah, Semarang, Yayasan Kanisius, 1960
Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 - 1946,
Jakarta, Sinar Harapan, 1988
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, ed. ke-2,
cet. ke-4, 1994
Hassan Shadily (koord. penyusunan), Ensiklopedia Umum, Jogjakarta, Jajasan
Kanisius, 1973
Herbert Feith dan Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,
Jakarta, LP3ES, 1988
Herqutanto Sosronegoro, Beberapa Ideologi Dan Implementasinya Dalam
kehidupan Kenegaraan, Yogyakarta, Liberti, 1990
Ibnoe Soewarno, Pelajaran Sejarah, Surakarta, Widya Duta, 1977
Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1991
J.B. Kristanto, 1000 Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2000
Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1971
Loekito Santoso, Polemologi – Peranti Kuantitatif dan Kualitatif Trilogi Perdamaian,
Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991
Pitut Soeharto & A. Zainal Ihsan, Cahaya di Kegelapan, Jakarta, Aksara
Jayasakti, 1982
Purbo S. Suwondo (penyunting), PETA, Tentara Sukarela Pembela tanah Air, di
Jawa dan Sumatera 1942-1945, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996
Purnama Suwardi (ed.), Sejarah Indonesia Modern dalam Dialog,
Jakarta, Cakrawala, 2000
P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, Jakarta,
Gramedia, 2002
Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984.
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Yogyakarta, Kanisius,
cet. ke-17 thn 2002
Setiadi Kartohadikusumo, Soetardjo, “Petisi Soetardjo” dan
perjuangannya, Jakarta, Sinar Harapan, 1990
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta, Teraju, 2003
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 1993
Soekanto, Menindjau
Hukum Adat Indonesia,
Djakarta, Soeroengan, 1958
Sukarno, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta, Gunung Agung, 1986
W.J. van Der Meulen, Indonesia Di Ambang Sejarah, Yogyakarta,
Kanisius, 1988
[1]
Disampaikan pada Forum Diskusi Reboan – GDN KOSGORO, pada Rabu, 27 Juni 2012 di WMI, Jl. Cik Di Tiro
34.
[2]
Sukarno, Pancasila sebagai Dasar
Negara, Jakarta, Gunung Agung, 1986, hal. 142-143.
[3]
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, ed. ke-2, cet. ke-4, 1994.
[4]
Ibid, hal. 629
[5]
Ibid, hal. 7
[6]
Ibid, hal. 1133
[7]
Ibid, hal. 208
[8] Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1971, hal. 3,
bandingkan dengan W.J. van Der Meulen, Indonesia
Di Ambang Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1988; Herqutanto Sosronegoro, Beberapa Ideologi Dan Implementasinya Dalam
kehidupan Kenegaraan, Yogyakarta, Liberti, 1990, hal. 7; Arysio Santos, Atlantis The Lost Continental Finally Found,
Jakarta, Ufuk Press, 2010. hal. 29-34
dan Bambang Sulistyanto, Balung
Buto-Warisan Budaya Dunia Dalam perspektif Masyarakat Sangiran, Yogyakarta,
Kunci Ilmu, 2003, hal. 63.
[9] Nama
Indonesia pertama kali dicetuskan oleh George Samuel
Windsor Earl (1813-1865), redaksi majalah
ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), di Singapura. Pada terbitan Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,
Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan,
Australian and Malay-Polynesian Nation, dengan mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia
dan Earl lebih condong pada nama Malayunesia (Kepulauan Melayu).
Sedangkan James Richardson Logan dalam artikel The Ethnology of the Indian
Archipelago, menyebutnya Indunesia dengan Indonesia (Batara Hutagalung, Artikel Maret 2003) dan Soekanto, Menindjau Hukum Adat Indonesia,
Djakarta, Soeroengan, 1958, hal. 29. Belum ada keputusan atau ketetapan
konstitusi yang mempertegas nama Indonesia sebagai Bangsa dan Negara, pada UUD
45 pasal 1 ayat (1) (hanya dinyatakan) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan,
yang berbentuk Republik
[10]
Herqutanto Sosronegoro, Beberapa
Ideologi Dan Implementasinya Dalam kehidupan Kenegaraan, Yogyakarta,
Liberti, 1990, hal. 5-9.
[11] Bandingkan
dengan teori-teori tentang asal-usul Negara dalam Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 1993, hal. 14-143.
[12] Soekanto,
Menindjau Hukum Adat Indonesia,
Djakarta, Soeroengan, 1958, hal. 164.
[13] Purnama Suwardi (editor), Sejarah Indonesia Modern dalam Dialog, Jakarta, Cakrawala, 2000,
hal. 58
[14] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, Yogyakarta, cet. ke-17 thn 2002,
hal. 37
[15]
Herbert Feith dan Lance Castles (Editor), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta, LP3ES, 1988, hal.
11
[16] Paham
yang mengedepankan hak-hak pribadi di atas hak atau kepentingan bersama. Paham
individualistik turunannya pada bidang ekonomi melahirkan paham kapitalisme
sedangkan pada bidang politik melahirkan paham liberalisme
[17] Op.
cit, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 342
[18]
Ibid, hal. 632
[19] Op,
cit, Herqutanto Sosronegoro, hal. 5.
[20] Op,
cit, Herbert Feith dan Lance Castles, hal. 195.
[21] Ibnoe
Soewarno, Pelajaran Sejarah,
Surakarta, Widya Duta, 1977, hal. 62.
[22] Ide
Anak Agung Gde Agung, Renville, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal. 11, tujuan utama pembentukan Sarekat Islam
(SI) adalah melawan penguasaan jalur pedagang yang didominasi oleh warga
keturunan Cina yang didukung pemerintah Belanda khususnya di wilayah perkotaan
dan Bambang Susetyo, Saksi
Zaman–Pelajaran Sejarah, Semarang, Yayasan Kanisius, 1960, hal. 73.
[23] Op,
cit, Purnama Suwardi, hal. 3. Lihat juga Pitut Soeharto & A. Zainal Ihsan, Cahaya di Kegelapan, Jakarta, Aksara
Jayasakti, 1982, pada tulisan Goenawan Mangoenkoesoemo, Lahirnya Boedi Oetomo, hal. 25 dan 10 Tahun Boedi Oetomo, hal. 125.
[24] Op,
cit, Ide Anak Agung Gde Agung, hal. 10, sangat jelas sekali bahwa pendirian dan
orientasi organisasi Budi Utomo (BU) adalah “Jawa
Centris”, selain dari tujuan pembentukannya, para anggotanya juga dari
kalangan para priyayi yang bekerja sebagai pegawai tinggi pangrehpradja,
seperti para amtenar dan bupati serta mahasiswa STOVIA yang mayoritas asli
Jawa.
[25] Ibid,
hal. 4. Bahkan Sejarawan Jepang, Akira Nagazumi menyebut Boedi Oetomo sebagai
Fajar Menyingsing Nasionalisme Indonesia, sebagaimana ditulis oleh P. Swantoro
dalam Dari Buku ke Buku Sambung
Menyambung Menjadi Satu, Jakarta, Gramedia, 2002, hal. 32. Pendapat yang
tidak sepakat dengan keberadaan Boedi Oetomo sebagai Pelopor Gerakan
Nasionalisme Indonesia juga dapat dilihat pada Achmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah-Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Bandung, Mizan, 1998, hal. 80.
[26] Hassan
Shadily (koordinator penyusunan), Ensiklopedia
Umum, Jogjakarta, Jajasan Kanisius, 1973, hal. 860-861
[27] Simuh,
Islam dan Pergumulan Budaya Jawa,
Jakarta, Teraju, 2003, hal. 119-126, khususnya mengenai pendapat G.F. Pijper
tentang alasan dasar pembentukan Muhammadiyah, yang secara umum sebagai gerakan
pemurnian ajaran Islam dari praktik bid’ah dan khurafat yang secara khusus
sebagai reaksi atas upaya mengkristen orang-orang Indonesia oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Sedangkan pandangan yang lebih modern di sampaikan oleh
Nurcholish Madjib dalam hal. 121.
[28] Op.
cit, Ibnoe Soewarno, hal. 60 dan Op.
cit, Ide Anak Agung Gde Agung, hal. 10
[29] Ibid,
Ibnoe Soewarno, hal. 70-71
[30] Walaupun
Jong Java menyatakan diri tidak
sebagai gerakan politik, namun kenyataannya Jong
Java menjadi arena latihan bagi anggota Budi Utomo dalam menanamkan
kesadaran politik dan sosial di kalangan anggota mudanya dan masyarakat pada
umumnya, lihat Robert van Niel, hal. 226
[31]
Keterangan lebih lengkap mengenai Insulinde
dan hubungannya dengan Sarekat Islamnya Haji Misbah di Solo dapat dilihat
di Robert van Niel, hal. 214-218
[32] Op.
cit, Ibnoe Soewarno, hal. 61
[33] Loc.
cit, Ide Anak Agung Gde Agung, Renville,
hal. 11 dan Ibid, Ibnoe Soewarno, hal. 64-65.
[34] Ibid,
Ibnoe Soewarno, hal. 65
[35] Ibid,
Ibnoe Soewarno, hal. 66-67
[36] Klub
Studi di Surabaya merupakan cikal bakal klub studi-klub studi yang bermunculan
di beberapa kota di Jawa, yang ditujukan untuk merangsang rasa tanggung jawab
sosial dan kesadaran politik orang Indonesia yang berpendidikan, lihat Robert
van Niel, hal. 296
[37] Op.
cit, Bambang Susetyo, hal 78. Pembubaran ini dilakukan akibat ketatnya
pengawasan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, menyusul tertangkapnya Bung
Hatta dan Syahrir pada tahun 1934 yang kemudian diasingkan ke Digul, Banda
Neira dan Bandung.
[38] Op,
cit, Ibnoe Soewarno, hal. 65-66
[39] Ibid,
Ibnoe Soewarno, hal. 67-68 dan Loc. cit, Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, hal. 15, GAPI terbentuk atas
usul Muhammad Husni Thamrin yang ketika itu sebagai anggota volksraad (dewan rakyat), yang
memperingatkan pemerintah kolonial Belanda agar memperhatikan kepentingan kaum
nasionalis Indonesia, agar ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda, kaum
nasionalis tidak hanya menjadi penonton saja.
[40] Ibid,
Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, hal.
11, mengenai volksraad sebagai Dewan Rakyat atau Dewan Penasehat Pemerintah
Hindia Belanda yang diresmikan tanggal 18 Mei 1918, tidak pernah memiliki
fungsi dan peran secara penuh karena hanya memberikan nasehat saja yang terbukti
tidak berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan pemerintahan. Namun positifnya volksraad berperan sebagai arena latihan
politik bagi para politikus bumiputera, yang kelak terbukti menjadi bekal bagi
perjuangan diplomasi selanjutnya. dan Loc. cit, Bambang Susetyo, hal. 80,
tentang “Petisi Soetardjo” yang intinya mengusulkan kepada Kerajaan Belanda
agar merubah hubungan yang terbentuk selama ini antara Pemerintah Hindia
Belanda dengan bumiputera sebagai hubungan dengan wilayah jajahan, menjadi
hubungan yang setara sebagai sesama bangsa yang berdaulat dan merdeka. Petisi
tersebut ditolak oleh Pemerintah Belanda tahun 1938. Lengkapnya mengenai Petisi
Soetardjo dapat dilihat pada Setiadi Kartohadikusumo, Soetardjo, “Petisi Soetardjo” dan perjuangannya, Jakarta, Sinar
Harapan, 1990.
[41] Ibid,
Bambang Susetyo, hal. 80-81, tahun 1940 ketika Negeri Belanda diduduki Jerman
dan Pemerintah Kerajaan Belanda berada di London, dibentuklah “Komisi Visman”
untuk membuat rencana perubahan dalam Sistem Pemerintahan Hindia Belanda,
sebagaimana usulan GAPI, yakni: Indonesia dan Belanda membentuk Negara Serikat
yang berparlemen; dan terdiri dari dua badan perwakilan.
[42] Op,
cit, Ibnoe Soewarno, hal. 68-70
[43] Loc,
cit, Robert van Niel, hal. 55-56, perkenalan R.A. Kartini puteri Regen Jepara
dengan J.H. Abendanon Pelaksana Politik Etis di Jawa yang pada tahun 1900
diangkat sebagai Direktur Pendidikan di Hindia Timur, memberikan pencerahan
bagi Kartini melalui korespondensi yang mengilhami pendirian sekolah keputrian.
[44] J.B.
Kristanto, 1000 Tahun Nusantara, dalam Marianne Katoppo, Mutiara Maluku dan Permata Pasundan, Jakarta, Kompas, 2000, hal.
482-483.
[45] Loc,
cit, Ibnoe Soewarno, hal. 69-70
[46] Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 - 1946,
Jakarta, Sinar Harapan, 1988, hal. 48 dan Ibid, Ibnoe Soewarno, hal. 76
[47]
Ibid, Ben Anderson, hal. 48 dan Op, cit, Ibnoe Soewarno, hal. 76
[48] Purbo S. Suwondo (penyunting), PETA, Tentara Sukarela Pembela tanah Air, di
Jawa dan Sumatera 1942-1945, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal.
75-85 dan Op. cit, Purnama Suwardi, hal. 59
[49] Ibid, Purbo S. Suwondo, hal. 71-74 dan Op.
cit, Ben Anderson, hal. 46-47, Seinendan
(korps pemuda) dibentuk tanggal 29 April 1943, sebagai organisasi pandu politik
guna membantu menggerakkan masyarakat dalam pertahanan wilayah setempat dan Keibodan (korps kewaspadaan) dibentuk pada tanggal 29 April 1943,
sebagai pasukan polisi bantuan untuk memelihara ketertiban dan keamanan
sekaligus bertindak sebagai mata-mata bala tentara Jepang.
[50] Loc.
cit, Ibnoe Soewarno, hal. 76, Op, cit, Ben Anderson, hal. 47-50, Jawa Hokokai dibentuk secara resmi pada bulan
Maret 1944, langsung dibawah kendali gunseikan
(kepala pemerintahan militer). Sebagai penggerak Hokokai dibentuklah shuihintai
(Barisan Pelopor) yang dipimpin oleh Soekarno dan sebagai pelaksana operasional
oleh dr. Muwardi.
[51] Op,
cit, Purbo S. Suwondo, hal. 163-174
[52] Loc,
cit, Bambang Susetyo, hal. 82-84, antara lain dinyatakan hancurnya hegemoni
bangsa Eropa oleh Asia (Jepang) menguatkan semangat dan rasa percaya diri
bangsa Indonesia, dipergunakannya bahasa Indonesia untuk menggantikan bahasa
Belanda semakin memperkuat persatuan dan dimulainya cikal bakal pendidikan
militer untuk bumiputera melalui PETA.
[53] Loekito Santoso, Polemologi – Peranti Kuantitatif dan Kualitatif Trilogi Perdamaian,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal. 9
Komentar
Posting Komentar