UMJ - Aspek-aspek Perkembangan Perilaku Pribadi dan Sosial
Bahan
Ajar 12
A. Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
1.
Perkembangan
Fisik
Awal
dari perkembangan pribadi seseorang pada asasnya bersifat biologis (Allport,
1957). Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya, normalitas dari konstitusi,
struktur, dan kondisi jasmaniah seseorang akan mempengaruhi normalitas
kepribadiannya, khususnya yang bertalian dengan masalah body-image,
self-concept, self-esteem dan rasa harga dirinya. Perkembangan fisik ini
mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis.
a.
Perkembangan
Anatomis
Perkembangan
anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang
belulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi
garis keajegan badan secara keseluruhan:
1) Tulang belulang pada masa bayi
berjumlah 27 yang masih lentur, berpori dan persambungannya longgar; pada awal
masa remaja menjadi 350 (proses diferensiasi fungsi) dan pada usia menjelang
dewasa menjadi 200 integrasi, persenyawaan dan pergeseran (Crow & Crow
1956:36);
2) Berat badan tinggi badan pada waktu
lahir umumnya sekitar 3-4 kg dan 0-60 cm, masa kanak-kanak sekitar 12-1 kg dan
90-120 cm; pada awal masa remaja sekitar 30-40 kg dan 140-160 cm, selanjutnya
kepesatan perubahan berkurang, bahkan menjadi mapan;
3) Proposi tinggi kepala dan badan pada
masa bayi dan kanak-kanak sekitar 1:4; menjelang dewasa menjadi 1:8 atau 10.
4) Adanya abnormalitas dalam perkembangan
fisik secara anatomis ini (misalnya cretinisme, giantisme) akan berpengaruh
atas segi-segi kepribadiannya seperti tersebut di atas (body-image, self-concept, self-esteem, rasa harga diri).
b. Perkembangan Fisiologi
Perkembangan fisiologis ditandai
dengan adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif, dan
fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran
darah dan pernapasan, persyarafan, sekresi kelenjar dan pencernaan:
1) Otot sebagai pengontrol motorik,
proporsi bobotnya 1-5 pada masa bayi dan kanak-kanak, menjadi 1:3 pada masa
remaja kemudian menjadi 2:5 pada usia menjelang dewasa;
2) Frekuensi denyut jantung pada masa
bayi sekitar 140 per menit dengan meningkatkan usia dapat berkurang sampai
62-63 meskipun normalnya pada orang dewasa sekitar 72;
3) Persentase tingkat kesempurnaan
perkembangan secara fungsional, dari Cortex (bagian otak) sebagai pusat susunan
saraf yang mempunyai fungsi pengontrol kegiatan organisme: infragranural (pengontrol reflex)
mencapai 80%; granural (pengontrol penginderaan) mencapai 75%, supragranular (erat hubungannya dengan
intelegensi) baru 50%.
4) Keaktifan dan tingkat kematangannya sekresi
tubuh yang berupa: lymphatic
(pembasmi bakteria, dll) aktif dan berkembang pesat sampai usia 12 tahun,
kemudian berkurang (bahkan tidak aktif) dengan meningkatnya usia;
kelenjar-kelenjar thiroid
(berpengaruh atas metabolisme), pittutary
(berpengaruh atas tulang belulang, otot dan pencernaan) dan adrenal atau suprarenal (berpengaruh atas emosionalitas) telah berkembang
sempurna dan berfungsi sejak masa bayi dan kanak-kanak; sedang gonads (kelenjar jenis) baru aktif dan
siap berfungsi pada awal masa remaja. Seandainya terjadi kelainan pada
segi-segi fisiologis ini pun, akan berpengaruh atas karakteristik perilaku
individu yang bersangkutan.
c.
Proses
dan Jalannya Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik berlangsung
mengikuti prinsip-prinsip cepalocaudal
(mulai dari bagian kepala menuju ekor atau kaki) dan proximodistal (mulai dari bagian tengah ke tepi atau tangan). Laju
perkembangan berjalan secara berirama; pada masa bayi dan kanak-kanak perubahan
fisik sangat pesat, pada usia sekolah menjadi lambat, mulai masa remaja terjadi
amat mencolok. Kemudian (pada permulaan masa remaja akhir bagi wanita dan
penghujung masa remaja akhir bagi pria) laju perkembangan menurun sangat
lambat.
2.
Perkembangan
Perilaku Psikomotorik
Perilaku psikomotorik memerlukan
adanya koordinasi fungsional antara neuronmuscular
system (persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan
konatif).
Loree (1970:75) menyatakan bahwa ada
dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus dikuasai
oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda
(prehension). Kedua jenis
keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan
yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working).
Dua prinsip perkembangan utama yang
tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana kepada yang
kompleks, dan (2) dari yang kasar dan
global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik tetapi
terkoordinasikan (finely coordinated
movements).
a.
Berjalan
dan Memegang Benda
Keterampilan berjalan diawali dengan
gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion) yang harus dikuasainya selama
tahun pertama dari kehidupannya. Perkembangan psikomotorik dasar itu
berlangsung secara sekuensial, sebagai berikut: (1) keterampilan bergulir (roll
over) dari telentang menjadi telungkup (5:8 bulan), (2) gerak duduk (sit up)
yang bebas (8,3 bulan), (3) Berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan bebas
(13,8 bulan) (Lorre, 1970:75).
Dengan demikian, maka dalam
gerakan-gerakan psikomotorik dasar itu tingkatan perkembangan penguasaannya
sudah dapat diprediksi. Kalau terjadi kelambatan-kelambatan dari ukuran
normalitas waktu di atas, berarti menandakan adanya kelainan tertentu. Keterampilan memegang benda, sampai
dengan 6, bulan pertama dari kelahirannya barulah merupakan gerakan meraih
benda-benda yang ditarik ke dekat badannya dengan seluruh lengannya. Baru mulai
pada masa enam bulan kedua dari kelahirannya, jari jemarinya dapat berangsur
digunakan memungut dan memegang erat-erat benda, seraya memasukkan ke mulutnya.
Keterampilan memegang secara bebas baru dicapai pula setelah keterampilan
berjalan bebas dikuasai.
b.
Bermain dan Bekerja
Dengan dikuasainya keterampilan
berjalan, anak bergerak sepanjang hari ke segenap ruangan dan halaman rumahnya
seperti tidak mengenal lelah, kadang-kadang berjalan, berlari, memanjat,
melompat, dan sebagainya. Hampir setiap benda yang ada di sekitarnya
disentuhnya, diguncang, dirobek, atau dilemparnya. Kalau kepada mereka
diberikan atau disediakan alat-alat mainan tertentu mulailah mereka menyusunnya
menyerupai konstruksi tertentu.
Mulai usia 4-5 tahun bermain
konstruksi yang fantastik itu dapat beralih kepada berbagai bentuk gerakan
bermain yang ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat dengan
aturan-aturan tertentu yang ketat. Pada
usia masa anak sekolah, permainan fantastik berkembang kepada permainan
yang realistik yang melibatkan
gerakan-gerakan yang lebih kompleks disertai aturan-aturan yang ketat. Pada usia remaja kegiatan motorik sudah
tertuju kepada persiapan-persiapan kerja, keterampilan-keterampilan menulis,
mengetik, menjahit, dan sebagainya sangat tepat saatnya mulai dikembangkan.
c.
Proses Perkembangan Motorik
Di samping faktor-faktor hereditas,
faktor-faktor lingkungan alamiah, sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta kesempatan dan latihan
merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh
terhadap proses dan produk perkembangan fisik
dan perilaku psikomotorik.
B.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Perasaan Diri (Sense of
Self)
Sekedar menyatakan kepada para siswa bahwa mereka adalah anak-anak yang
baik, ramah, atau populer, tidaklah mampu memulihkan rasa harga diri yang
rendah. Selain itu, pernyataan-pernyataan abstrak seperti “Kamu anak spesial”
hanya memiliki sedikit makna dalam realitas konkret anak-anak muda belia. Meski
demikian, setidaknya terdapat tiga faktor yang benar-benar memiliki pengaruh terhadap konsep diri siswa: performa
siswa sebelumnya, perilaku individu lain, dan--dalam sejumlah kasus--prestasi
kelompok tempat siswa yang bersangkutan menjadi anggotanya. Setiap faktor
memberikan wawasan mengenai bagaimana kita, sebagai guru, dapat meningkatkan
perasaan diri (sense of self) siswa.
1.
Performa
Sebelumnya
Sebagaimana telah kita pelajari, konsep diri siswa memengaruhi cara
mereka berperilaku. Namun, kebalikannya juga berlaku: Asesmen-diri para siswa
dipengaruhi oleh kesuksesan mereka pada masa lalu. Para siswa lebih cenderung
mempercayai bahwa mereka memiliki bakat matematika jika dalam kelas-kelas
sebelumnya mereka meraih prestasi bagus di bidang matematika; cenderung
meyakini bahwa mereka adalah individu yang menyenangkan jika mereka sebelumnya
mampu mendapatkan dan mempertahankan banyak kawan; dan cenderung meyakini bahwa
mereka adalah olahragawan yang handal jika mereka sebelumnya memenangkan
sejumlah kompetisi.
Seringkali para siswa memperoleh wawasan awal mengenai kompetensi umum
mereka berdasarkan kesuksesan dan kegagalan dalam aktivitas-aktivitas tertentu.
Sebagai contoh, mereka mungkin menemukan bahwa mereka dapat dengan mudah
menyelesaikan penjumlahan dan pengurangan dasar (atau sebaliknya, secara
konsisten berupaya keras mengerjakan soal-soal yang sama). Atau, mereka bisa
menemukan bahwa mereka dapat berlari lebih cepat—atau lebih lambat—dibandingkan
teman-teman mereka. Melalui pengalaman-pengalaman semacam itu, para siswa
memperoleh perasaan efikasi diri (self-efficacy) mengenai seberapa baik
mereka mampu melakukan suatu aktivitas. Seiring berlalunya waktu, efikasi diri
siswa terhadap tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas tertentu berkontribusi
terhadap pemahaman yang lebih umum tentang diri mereka.
Interaksi persepsi diri dan perilaku dapat menimbulkan suatu lingkaran
setan: perasaan diri yang rendah dapat menyebabkan perilaku yang kurang
produktif, yang menyebabkan jarangnya individu yang bersangkutan meraih
kesuksesan, sehingga menjadi semakin kuatlah perasaan diri yang rendah
tersebut. Untuk memutuskan lingkaran tersebut, kita harus memastikan setiap siswa
mendapatkan banyak kesempatan untuk meraih keberhasilan dalam ranah akademis,
sosial, dan tugas-tugas fisik, atau setidak-tidaknya, menunjukkan perbaikan
yang signifikan dalam tugas-tugas tersebut. Sebagai contoh, kita bisa
menyesuaikan, dan kita dapat memastikan bahwa para siswa telah menguasai
pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan prasyarat sebelum kita memberikan tugas-tugas
baru. Meski demikian, kita harus senantiasa ingat bahwa kesuksesan yang terlalu mudah justru tidak memberikan
dampak yang baik. Kita seharusnya memberikan tugas-tugas yang menantang,
memberikan bimbingan dan dukungan yang diperlukan para siswa agar mampu
menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan baik. Faktanya, kegagalan yang
kadang-kadang terjadi yang diakibatkan oleh tantangan-tantangan tersebut pada
akhirnya akan membentuk perasaan diri yang semakin realistis dan semakin tahan
banting yang membuat ia dapat menerima pengalaman kegagalan itu dengan
mudah—asalkan siswa pada akhirnya memang meraih kesuksesan.
Tingkatkan perasaan-diri siswa melalui dukungan terhadap upaya-upaya
mereka menyelesaikan tantangan-tantangan baru.
2.
Perilaku
orang lain
Perilaku orang lain memengaruhi persepsi diri siswa setidaknya dalam dua
cara.
Pertama, cara siswa mengevaluasi dirinya sendiri bergantung pada seberapa
jauh siswa tersebut membandingkan performanya dengan performa individu-individu
lainnya, terutama teman sebayanya. Para remaja, khususnya, cenderung
mengevaluasi dirinya berdasarkan perbandingan dengan teman-teman sekelasnya. Remaja
yang menganggap dirinya berprestasi lebih tinggi dibanding teman-temannya
cenderung mengembangkan perasaan diri yang lebih positif dibandingkan remaja
yang selalu berfikir dirinya berprestasi lebih rendah dari kawan-kawannya.
Untuk membantu para siswa mengembangkan perasaan diri yang positif, kita
seharusnya meminimalkan kompetisi dan situasi-situasi lainnya yang membuat
siswa mengevaluasi dirinya secara negatif berdasarkan perbandingan dengan
teman-temannya.
Kedua, persepsi diri siswa dipengaruhi oleh perilaku orang lain terhadap
diri mereka. Orang dewasa dan teman-teman sebaya mengkomunikasikan penilaian
mereka terhadap seseorang melalui beragam perilaku. Sebagai contoh, orang tua
dan guru mendorong konsep diri yang semakin positif saat mereka menyampaikan
ekspektasi tinggi bagi performa anak dan memberikan dukungan dan semangat atas
tercapainya sasaran-sasaran yang menantang. Di sisi lain, teman-teman sebaya
mengkomunikasikan informasi mengenai kompetensi sosial dan fisik anak, misalnya
melalui ajakan terhadap anak atau cemoohan terhadap anak di hadapan
teman-temannya.
Minimalkan situasi-situasi kompetisi yang membuat siswa mengevaluasi
dirinya secara negatif berdasarkan perbandingan dengan rekan-rekannya.
a.
Sebagai guru, kita tidak selalu mampu mengendalikan
perilaku orang lain terhadap anak didik kita; akan tetapi, kita dapat
memastikan bahwa kita merespons anak didik kita dengan cara-cara yang menunjang
perasaan diri mereka. Para siswa yang membuat kesalahan atau berperilaku buruk
akan selalu menangkap perhatian kita lebih cepat dibandingkan siswa-siswa yang
memberikan respons yang tepat, sehingga kita harus membuat upaya bersama untuk
mendorong para siswa berperilaku baik dan memuji mereka bila mereka
mewujudkannya. Secara umum, kita harus memperlakukan para siswa dengan
hormat—misalnya, dengan meminta mereka menceritakan pandangan-pandangan pribadi
dan opini mereka mengenai materi akademis, meminta masukan mereka mengenai
keputusan-keputusan penting dalam pengajaran di kelas, dan mengkomunikasikan
minat yang tulus terhadap kebaikan mereka.
b.
Pada saat yang sama, siswa dapat memperbaiki
kelemahan-kelemahannya hanya bila kita mengingatkan mereka dalam hal mana saja
mereka telah bertindak tidak efektif atau tidak tepat. Sesekali memberikan
umpan-balik negatif juga perlu. Caranya, umpan-balik negatif tersebut diberikan
sembari mengkomunikasikan respek dan kasih sayang kepada mereka sebagai
manusia. Sebagai contoh, saat siswa membuat kesalahan dalam karya akademis
mereka, kita dapat menunjukkan bahwa kesalahan adalah hal yang wajar dalam
proses belajar dan kita memberikan informasi berharga mengenai cara siswa
memperbaiki pengetahuan dan keterampilan mereka. Saat siswa berperilaku tidak
tepat, kita dapat mengkomunikasikan bahwa sekalipun kita menyukai mereka, kita
tidak menyetujui tindakan mereka pada saat itu, mungkin dengan mengatakan,
“Kamu biasanya menjadi anak yang baik, Gail, tapi sekarang ini kamu menyakiti
perasaan Jenny dengan mengolok-olok baju yang dikenakannya.”
3.
Keanggotaan dan Prestasi dalam Kelompok
Menjadi anggota dalam satu atau lebih kelompok
(misalnya dalam satu kelompok yang popular) dapat juga meningkatkan perasaan
diri siswa. Jika mengenang masa-masa sekolah, Anda mungkin pernah ikut merasa
bangga terhadap prestasi yang diraih seluruh kelas. Secara umum, para siswa
cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi bila mereka tergabung dalam
kelompok-kelompok yang sukses. Kelompok-kelompok
sekolah bukanlah satu-satunya kelompok penting dalam kehidupan siswa. Sejumlah
kebudayaan mendorong anak-anak untuk turut berbangga terhadap keberhasilan
keluarga, bahkan terkadang lebih dari prestasi mereka sendiri. Selain itu,
banyak anak menyadari—dan bangga terhadap—kelompok etnik mereka, dan dengan
sukarela menjalankan beberapa perilaku kelompok. Dengan kata lain, mereke
memiliki identitas etnik (ethnic
identity) yang kuat.
Terkadang, identitas etnik siswa dapat
membuatnya menolak nilai-nilai yang umum di Barat. Sebagai contoh, dalam
sejumlah kelompok etnik minoritas, seorang siswa berprestasi tinggi bisa saja
dituduh teman-temannya sebagai “berlagak (kulit) putih”; sebuah label yang
artinya “Kamu bukan bagian dari kita”. Meski demikian, dalam sebagian besar
kasus, siswa-siswa dengan identitas etnik yang kuat dan positif memiliki
prestasi tinggi di sekolahnya, baik
secara akademis maupun social.
Selain itu, kebanggaan terhadap warisan etnik
dapat berperan sebagai perisai emosional yang melindungi anak dari ejekan dan
diskriminasi yang terkadang dijumpai anak atau remaja yang bersangkutan dari
kelompok-kelompok minoritas. Sebagai contoh, cermatilah pernyataan Eva, seorang
siswi SMU Afrika-Amerika:
Saya bangga berkulit hitam. Meski demikian,
saya sadar bahwa rasisme masih berlangsung di dunia ini, namun saya tidak mau
jadikan itu sebagai alas an. Saya yakin saya bisa sukses. Saya baru saja menyadari
bahwa saya tidak akan membiarkan rasisme menghentikan saya. Berkulit hitam itu
baik. Saya bangga berkulit hitam, tapi kita juga harus menghadapi kenyataan.
Anda tahu, orang-orang berkulit hitam hidupnya tidak sukses, tapi saya tahu
saya pasti sukses; saya tidak tahu caranya—saya hanya tahu saya pasti sukses.
(Way, 1998, Hlm. 257)
Jelaslah bahwa kita dapat meningkatkan
perasaan diri siswa dengan mengarahkan atensi mereka ke prestasi kelompok
tempat mereka menjadi anggotanya, termasuk kelompok-kelompok di luar sekolah. Identitas etnik adalah kesadaran seseorang mengenai keanggotaan dirinya dalam suatu kelompok
etnik atau kebudayaan tertentu yang disertai kesediaan menerima karakteristik
perilaku kelompok tersebut.
Komentar
Posting Komentar