UMJ - Pengamalan dan Pengamanan Pancasila
BAHAN 9
Kuliah Pancasila UMJ 2012-2013
A. Bentuk Pelaksanaan Pancasila
Pancasila
baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup supaya mempunyai arti
dan makna dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara maka perlu pelaksanaannya. Pelaksanaannya baik oleh
Pejabat/Penguasa negara maupun oleh setiap warganegara maupun penduduk
Indonesia. Jika pelaksanaan Pancasila tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran
dan rasa tanggungjawab, jadi bukan karena terpaksa atau merasa takut, maka
pelaksanaan tersebut dinamakan pengamalan. Jadi bobot/nilai pengamalan lebih
tinggi dari hanya pelaksanaannya.
Pelaksanaan/pengamalan
Pancasila dibedakan dalam (dua) bentuk pelaksanaan, yaitu:
1. Pelaksanaan Objektif, adalah
pelaksanaan yang dilakukan oleh Penguasa negara yang berwenang dengan cara
menjabarkan Pancasila tersebut ke dalam
Peraturan Perundang-undangan (misalnya MPR menetapkan Ketetapan MPR, DPR
dan Presiden membuat Undang-Undang dan sebagainya).
2. Pelaksanaan objektif Pancasila
sebagai Dasar Negara mutlak harus dilakukan, sedangkan pelaksanaan objektif
Pancasila sebagai Pandangan Hidup tidak mutlak harus dilakukan. Pemerintah
(Orde Baru) pernah merasa perlu maka dikeluarkanlah Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang P-4 (Ekaprasetia Pancakarsa) yang sekarang telah dicabut.
Dengan demikian dicabutnya TAP tentang P-4 tersebut adalah tidak menjadi
masalah, karena tidak mutlak harus ada.
Pelaksanaan Subjektif, adalah
pelaksanaan yang harus dilakukan oleh setiap warganegara Indonesia (dimanapun
ia berada) dan penduduk dengan cara mematuhi melaksanakan setiap peraturan
perundang-undangan yang ada. Sebagai Dasar Negara maka setiap warganegara wajib
taat kepada semua peraturan yang bersumber pada Pancasila yang berfungsi
sebagai “Sumber dari segala sumber hukum”. Sebagai Pandangan Hidup setiap
warganegara hendaknya bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan norma-norma
luhur Pancasila.
B. Pengamalan Pancasila sebagai Dasar Negara
Pengamalan
Pancasila berarti, pelaksanaan Pancasila dalam wujud tingkah laku, tindak
tanduk atau perbuatan-perbuatan yang nyata. Dasar negara berarti,
peraturan-peraturan pokok yang digunakan sebagai landasan untuk mengatur
kehidupan negara, Pengamalan Pancasila sebagai Dasar Negara berarti Pelaksanaan
Pancasila dalam wujud tingkah laku, tindak tanduk ataupun perbuatan-perbuatan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku dalam negara bangsa Indonesia.
Pengamalan Pancasila sebagai Dasar Negara mengandung keharusan-keharusan
ataupun larangan-larangan yang harus dilaksanakan oleh setiap warganegara, baik
pejabat maupun masyarakat pada umumnya, Sebab, pengamalan Pancasila sebagai
dasar negara mengandung sanksi-sanksi hukum. Artinya bilamana tingkah laku,
tindak tanduk ataupun perbuatan-perbuatan bangsa Indonesia bertentangan dengan
Pancasila sebagai Dasar Negara, maka bangsa Indonesia dikenai sanksi hukum.
Pancasila
sebagai Dasar Negara, berarti pula Pancasila sebagai Norma Dasar Republik
Indonesia. Perkataan “Norma Dasar” terdiri dari kata “Norma”, yang berarti
“Hukum” atau “Kaidah” dan kata “Dasar”, yang berarti “Pokok” atau “Fondamen”,
jadi Norma Dasar berarti hukum pokok atau kaidah pokok. Karena itu yang
dimaksud dengan Pancasila sebagai Norma Dasar Negara Republik Indonesia ialah
Pancasila yang menjadi hukum pokok dalam negara bangsa Indonesia. Artinya, semua
peraturan perundangan yang berlaku dalam negara bangsa Indonesia bersumber pada
Pancasila dan sah berlaku jika tidak bertentangan dengan Pancasila. Dengan
pengertian tersebut, maka Pancasila merupakan “Sumber dari segala sumber
hukum”. Oleh karena itu, semua peraturan perundangan di Negara Republik
Indonesia adalah bersumber pada Pancasila, maka setiap warganegara yang
menjalankan dan mematuhi semua peraturan yang ada secara teoritis ia telah
mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Sebagai Dasar Negara, pengamalan Pancasila
pada hakikatnya adalah merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam
berbagai ketentuan negara guna pengaturan pelaksanaan berbagai macam pola dan
bidang kehidupan, agar benar-benar sesuai dan dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila, yaitu:
Pertama,
nilai Pancasila yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 telah dijabarkan
secara merata pada pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945.
Kedua,
jabaran nilai Pancasila yang termaktub dalam pasal-pasal tersebut dijabarkan
lebih lanjut di dalam ketetapan-ketetapan MPR, termasuk di dalamnya Ketetapan
mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang merupakan pedoman
pelaksanaannya.
Ketiga,
jabaran yang merupakan pedoman pelaksanaan tersebut, masih diperlukan lagi
adanya penjabaran lebih jauh/lanjut dan terperinci yang mengatur pelaksanaan
seluruh bidang kegiatan dalam kehidupan.
Keempat,
setelah kesemuanya diatur berdasarkan Pancasila seperti tersebut di atas,
diperlukan partisipasi dari seluruh warga masyarakat untuk mematuhinya,
mengembangkan dan mengamankannya. Hanya dengan jalan demikianlah, maka
pengamalan Pancasila ini dapat berhasil, karena di dalamnya terlibat secara
dinamis serta bersama-sama Pemerintah dan seluruh warga masyarakat.
C. Pengamalan Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Mengingat
bahwa Pancasila di samping sebagai Dasar Negara juga merupakan Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia, yang berarti dipergunakan sebagai pedoman hidup dalam hidup
sehari-hari; maka ia meliputi hal-hal yang sangat luas, termasuk bidang
kerohanian. Seperti telah disebut di atas, sebagai pedoman MPR pernah
mengeluarkan ketetapan No. II/MPR/1978 tentang P-4, namun ketetapan tersebut
sudah dicabut. Pangkal tolak penghayatan dan pengamalan Pancasila ialah kemauan
dan kemampuan manusia Indonesia dalam mengendalikan diri dan kepentingannya
agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagai warganegara dan warga masyarakat.
Dengan
kesadaran dan pangkal tolak yang demikian tadi, maka sikap hidup manusia
Pancasila adalah:
1. Kepentingan pribadinya tetap
diletakkan dalam kesadaran kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan
masyarakatnya;
2. Kewajibannya terhadap masyarakat
dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya.
Karena
merupakan pengamalan Pancasila, maka dalam mewujudkan sikap hidup tadi manusia
dituntut oleh kelima sila dari Pancasila, yaitu – Oleh rasa Ketuhanan Yang Maha
Esa, oleh rasa perikemanusiaan, yang adil dan beradab, oleh kesadaran untuk
memperkokoh persatuan Indonesia, oleh sikap yang menjunjung tinggi kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengamalan
Pancasila tidak lain bertujuan mewujudkan kehidupan pribadi dan kehidupan
bersama yang kita cita-citakan, kehidupan yang kita anggap baik. Dan untuk merasakan
kehidupan yang lebih baik itulah tujuan akhir dari pembangunan bangsa dan
negara bangsa Indonesia. Sama halnya dengan bangsa lain, bangsa Indonesia juga
terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat besar dan kecil, setiap kelompok
masyarakat dari keluarga-keluarga, dan setiap keluarga terdiri dari
pribadi-pribadi. Karena itu membangun bangsa dan negara berdasarkan Pancasila,
berarti membangun manusia-manusia Pancasila.
D. Pengamalan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
1. Pengertian Paradigma
Dalam beberapa
kamus ditemukan beberapa pengertian paradigma, yaitu antara lain: Contoh, -
Tasrip, - Teladan, - Pedoman. Dalam kamus ilmiah Populer, yang ditulis oleh
Pius A. Partanto & MD AlBarry, terbitan: Arkola, Surabaya, disebutkan:
Paradigma dipakai untuk menunjukkan Gugusan Sistem Pemikiran, Bentuk Kasus dan
Pola Pemecahannya. Berdasarkan kutipan tersebut, dapatlah disimpulkan
pengertian Paradigma sebagai berikut. Paradigma adalah suatu pedoman
dasar/pokok untuk dipakai dalam menghadapi segala aspek kehidupan dengan segala
permasalahannya untuk dipecahkan, sehingga tercapai suatu tujuan.
2. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Nasional
Sebagaimana telah disepakati,
bahwa pengamalan Pancasila melalui pelaksanaan Pembangunan Nasional, dalam
rangka mencapai Tujuan Nasional. Tujuan Nasional seperti ditegaskan dalam
alinea IV Pembukaan UUD 1945, yang menjadi cita-cita Kemerdekaan Negara Republik
Indonesia. Cita-cita bangsa Indonesia tidak mungkin tercapai tanpa pembangunan.
Jadi, hanya pembangunanlah sarana untuk mencapai cita-cita yang mulia, yang
sekaligus menjadi tujuan nasional itu. Selanjutnya sebagai petunjuk untuk
melakukan pembangunan, perlu adanya rambu rambu yang harus ditaati. Untuk itu
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia, menetapkan norma-norma pembangunan itu dalam bentuk Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN).
Pembangunan Nasional merupakan
usaha peningkatan kualitas manusia, dan masyarakat Indonesia yang dilakukan
secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan Nasional, dengan memanfaatkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan
perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan
nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat,
mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju dan kukuh kekuatan moral dan etikanya. Pembangunan
Nasional tersebut adalah dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan nasional telah digariskan, bahwa semua
upaya pembangunan diusahakan mencapai hasil dan pemerataan serta stabilitas di
segala bidang, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
dan keamanan.
Keseluruhan semangat, arah, dan
garis pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila Pancasila secara
serasi dan sebagai kesatuan utuh, yang meliputi:
a. Pengamalan Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang antara lain mencakup tanggungjawab bersama dari seluruh golongan beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk secara terus menerus dan
bersama-sama meletakkan landasan spiritual, moral, dan etik yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
b. Pengamalan Sila Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, yang antara lain mencakup peningkatan martabat serta hak dan
kewajiban asasi warganegara, serta penghapusan penjajahan, kesengsaraan, dan
ketidakadilan dari muka bumi.
c. Pengamalan Sila Persatuan
Indonesia, yang antara lain mencakup peningkatan pembinaan bangsa di semua
bidang kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa, dan negara,
sehingga rasa kesetiakawanan semakin
kuat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Pengamalan Sila Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
antara lain mencakup upaya makin menumbuhkan dan mengembangkan sistem politik
demokrasi Pancasila yang makin mampu memelihara stabilitas nasional yang
dinamis, mengembangkan kesadaran dan tanggungjawab politik warganegara, serta
menggairahkan rakyat dalam proses politik.
e. Pengamalan Sila Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, yang antara lain mencakup upaya untuk
mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya kemakmuran
yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi yang
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas keseluruhan.
Nilai-nilai
dasar yang telah diletakkan oleh para pendiri negara berupa Proklamasi 17
Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945, merupakan nilai dasar yang menjadi
sumber gagasan seluruh cipta, rasa, karsa, dan karya bagi segenap upaya dalam
melanjutkan kepentingan dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Dari nilai-nilai
dasar ini dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental, dan lebih lanjut
menjadi nilai-nilai praktis. Nilai dasar Pancasila tidak boleh berubah, yang
boleh berubah adalah nilai operasionalnya, yaitu nilai instrumental dan nilai
praktis yang merupakan pengamalan, pengembangan dan pengkaryaan dari nilai
dasar. GBHN merupakan Nilai Instrumental, sebagai landasan operasional
Pembangunan Nasional. Ini berarti GBHN tersebut akan dijabarkan lebih lanjut ke
dalam peraturan-peraturan lainnya sebagai peraturan pelaksanaan seperti Keputusan
Presiden dan seterusnya.
E. Visi dan Misi
Dalam
beberapa GBHN disebutkan tentang hakikat pembangunan nasional sebagai
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan
nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan merata diseluruh tanah air dan
tidak hanya untuk suatu golongan atau sebagian dari masyarakat, tetapi untuk
seluruh masyarakat, serta harus benar-benar dapat dirasakan seluruh rakyat
sebagai perbaikan tingkat hidup yang berkeadilan sosial, yang menjadi tujuan
dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sejalan
dengan itu, tepatlah apabila dikatakan bahwa tujuan pembangunan nasional adalah
untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata materil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat
dalam suasana peri kehidupan bangsa yanga aman, tentram, tertib dan dinamis
dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,
maka bangsa Indonesia mempunyai Visi dan Misi, yaitu sebagai berikut (GBHN
Tahun 1999):
1. Visi
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta
berdisiplin.
2.
Misi
Untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan,
ditetapkan misi sebagai berikut.
a. Pengamalan
Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
b.
Penegakan kedaulatan rakyat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
c.
Peningkatan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dalam kehidupan dan mantapnya persaudaraan umat beragama yang
berakhlak mulia, toleran, rukun dan damai;
d.
Penjaminan
kondisi aman, damai, tertib dan ketentraman masyarakat;
e.
Perwujudan sistem hukum nasional, yang menjamin
tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan
kebenaran;
f.
Perwujudan kehidupan sosial budaya yang
berkepribadian, dinamis, kreatif, dan berdayatahan terhadap pengaruh
globalisasi;
g. Pemberdayaan
masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil,
menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang
bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam
dan sumber daya manusia yang produktif,
mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
h.
Perwujudan otonomi daerah dalam rangka pembangunan
daerah dan pemerataan pertumbuhan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
i.
Perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh
meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermanfaa, serta memberi
perhatian pada tercukupinya kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan, papan,
kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja;
j.
Perwujudan aparatur negara yang berfungsi melayani
masyarakat, profesional, berdayaguna, produktif, transparan, bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme;
k.
Perwujudan sistem dan iklim pendidikan nasional yang
demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif,
berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab,
berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia;
l.
Perwujudan politik luar negeri yang berdaulat,
bermartabat, bebas dan proaktif bagi kepentingan nasional dalam menghadapi
perkembangan global.
Untuk
melaksanakan pembangunan nasional, dan berdasarkan visi dan misi tersebut di
atas, maka perlu adanya arah kebijaksanaan dalam segala bidang, yaitu meliputi:
Hukum, Ekonomi, Politik (Politik Dalam Negeri, Politik Luar Negeri
Penyelenggara Negara, serta Komunikasi, Informasi dan Media Massa), Agama,
Pendidikan, Sosial dan Budaya (Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan,
Kesenian, dan Pariwisata, Kedudukan dan Peranan Perempuan, Pemuda dan Olah
Raga), Pembangunan Daerah, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Pertahanan
dan Keamanan.
F. Aktualisasi
Pancasila dalam Aspek Kesadaran Bela Negara
Undang-undang No. 20 Tahun 1982
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Undang-undang
yang dirancang oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Markas Besar TNI ini
merupakan kerangka yuridis dari penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 ke dalam bidang pertahanan dan keamanan. Undang-undang ini mengacu pada
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal
11, Pasal 12, Pasal 17, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 30.
Ada empat hal penting dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
1982 tersebut, yaitu Perlawanan Rakyat Semesta; Sistem Pertahanan Rakyat Semesta;
dan Pengelolaan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta.
1.
Perlawanan
Rakyat Semesta adalah kesadaran tekad, sikap dan pandangan seluruh rakyat
Indonesia untuk menangkal, mencegah, menggagalkan dan menumpas setiap ancaman
yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 dengan mendayagunakan segenap sumber daya nasional dan prasarana
nasional. Dengan rumusan ini, tercerminlah kebersamaan dan faham integralistik
dalam bidang pertahanan dan keamanan, bukan saja mengenai manusianya sendiri,
tetapi juga dengan seluruh sumber daya dan prasarana nasional. Amat penting
dalam hubungan ini adalah konsep bangsa Indonesia mengenai perang dan damai. Penjelasan
UUD No. 20 Tahun 1982 menegaskan, bagi bangsa Indonesia, perang adalah jalan
terakhir dan hanya dilakukan bila semua usaha untuk penyelesaian sengketa
secara damai telah ditempuh dan ternyata tidak berhasil. Perang hanya dilakukan
dalam keadaan terpaksa untuk mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, serta
kepentingan nasional dan sedapat mungkin diusahakan agar wilayah nasional tidak
menjadi ajang perang. Hal ini selanjutnya menyebabkan bahwa pertahanan keamanan
negara bersifat defensif aktif di bidang pertahanan, dan preventif aktif di
bidang keamanan;
2.
Untuk
mewujudkan konsep tersebut di atas, disusunlah Sistem Pertahanan Keamanan
Rakyat Semesta, yaitu tatanan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan
negara, yang terdiri dari rakyat sebagai komponen dasar, Angkatan Bersenjata
beserta Cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama,
Perlindungan Masyarakat sebagai komponen khusus, dan sumber daya alam, sumber
daya buatan, dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung. Peranan
rakyat dalam sistem Pertahanan Rakyat Semesta ini dicantumkan dengan jelas dalam Pasal 17 UU No. 20 Tahun 1982
tersebut, yang bunyinya sebagai berikut.
a.
Hak
dan kewajiban warganegara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela
negara tidak dapat dihindarkan, kecuali menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan undang-undang;
b.
Upaya
bela negara merupakan kehormatan yang dilakukan oleh setiap warganegara dengan
secara adil dan merata.
3.
Pengelolaan
Pertahanan Keamanan Negara dilakukan secara nasional dan ditujukan untuk menjamin
serta mendukung kepentingan nasional dan semua kebijaksanaan nasional. Presiden
memegang kekuasaan-tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Udara, maupun atas pengelolaan pertahanan keamanan negara.
4.
Dalam
menetapkan kebijaksanaan pertahanan keamanan negara, Presiden dibantu oleh
Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (WANHANKAMNAS)
G. Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dalam Undang-undang No. 2 Tahun
1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dibedakan antara
prajurit sukarela dan prajurit wajib, serta prajurit yang berdinas
purna waktu dan yang berdinas penggal waktu, sehingga seluruhnya dikenal lima
suku prajurit
ABRI/TNI, yaitu:
- Prajurit sukarela berdinas purna waktu yang panjang, disebut sebagai “Prajurit Karier”;
- Prajurit sukarela yang berdinas untuk waktu sekurang-kurangnya 5 tahun disebut sebagai “Prajurit Sukarela Dinas Pendek”;
- Prajurit Sukarela penggal waktu, disebut sebagai “Prajurit Cadangan Sukarela”;
- Prajurit Wajib berdinas dua tahun penuh disebut sebagai “Prajurit Wajib”;
- Prajurit Penggal Waktu selama-lamanya 5 tahun disebut sebagai “Prajurit Cadangan Wajib”.
Berdasarkan
UU No. 2 Tahun 1988 ini terdapat perubahan rumusan sumpah
prajurit, khususnya hubungan antara prajurit dengan Pemerintah, menjadi sebagai berikut :
Sumpah Prajurit
Demi Allah saya
bersumpah/berjanji:
1.
Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh
disiplin keprajuritan;
3.
Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah
perintah atau putusan;
4.
Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan
penuh rasa tanggungjawab kepada tentara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
5.
Bahwa saya akan memegang teguh segala rahasia tentara
sekeras-kerasnya.
Rumusan
dalam kalimat pertama Sumpah Prajurit tersebut, dan berdasarkan Penjelasan UU
No. 2 Tahun 1988 tersebut, menegaskan sebagai berikut. “Yang dimaksud dengan
setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 mencakup pengertian setia kepada rakyat dan pemerintah
yang berideologi Pancasila dan menjalankan kewajibannya menurut Undang-Undang
Dasar 1945”.
Dalam
rumusan ini terdapat
perubahan, dari kesetiaan tanpa syarat kepada
pemerintah menjadi bersifat ideologi
dan mengukur keabsahan ideologi
pemerintah sebagai syarat kesetiaan. Adapun rumusan Sumpah Prajurit berdasarkan
Undang-Undang No. 16 Tahun 1953 bunyinya adalah sebagai berikut.
Sumpah Prajurit
1)
Setia kepada Pemerintah dan tunduk kepada
Undang-Undang dan Ideologi Negara;
2)
Tunduk kepada Hukum Tentara;
3)
Menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa
tanggungjawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia;
4)
Memegang teguh disiplin tentara, berarti tunduk,
setia, hormat serta taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau
putusan;
5)
Memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya.
H.
Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Dalam Islam
1.
Pendahuluan
“Kalian akan dipimpin oleh
pemimpin-pemimpin sesudahku. Orang yang baik akan memimpin kalian dengan
kebaikannya, sedangkan orang yang jahat akan memimpin kalian dengan
kejahatannya. Dengarkan mereka, dan patuhilah dalam hal apa yang sesuai dengan
kebenaran (Islam). Kalau mereka berbuat baik maka (keuntungan) bagi kamu dan
(kembali) kepada mereka. Dan jika mereka berbuat jahat, maka (akibatnya akan
menimpa) kamu dan (kembali juga) atas mereka.” (H.R.Hasyim bin Urwah, dalam
kitab Al Arkam as Sulthaniyah,dalam Jamaluddin Kahfie, 1989: 33).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa
Nabi Muhammad saw merupakan pemimpin yang sampai saat ini belum ada
tandingannya. Wajar saja, karena Allah SWT yang langsung memilih Beliau sebagai
pemimpin, sehingga mustahil Allah SWT salah dalam menjatuhkan pilihan. Beliau
memenuhi persyaratan kepemimpinan, ciri-ciri, sifat-sifat, sikap dan fungsi,
tipe dan sosok pribadi seorang pemimpin, sehingga kehadirannya di muka bumi ini
merupakan rahmatan lil ‘alamien.
Berdasarkan hadits di atas, pemimpin yang baik akan memberikan keuntungan
dan kebaikan, dan sebaliknya pemimpin yang jahat akan menimbulkan kemudharatan.
Rasulullah saw juga mengingatkan bahwa kurun masa yang paling baik adalah pada
periode (masa-masa) kepemimpinannya yaitu sekitar 23 tahun lamanya. Kemudian
disusul dengan periode sesudahnya, yakni masa sahabat atau Khulafaurrasyidin. Periode di belakangnya adalah zaman tabi’ien. Dan setelah tiga periode
tersebut akan muncul berbagai type dan pola kepemimpinan, yang pada garis
besarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yaitu pemimpin yang baik dan
yang jahat.
Pemimpin memiliki tempat yang sangat sentral dan strategis dalam berbagai
urusan. Oleh karena itu, untuk memilih dan mencari pemimpin hendaknya kita
harus hati-hati dan cermat. Kesalahan dalam memilih pemimpin akan berakibat
fatal. Islam melalui Al Qur’an dan As Sunnah telah memberikan pedoman dan
tuntunan kepada kita bagaimana hendaknya kita memilih pemimpin.
2.
Larangan Menjadikan Orang Kafir sebagai Pemimpin
Allah melarang kita untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin,
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Artinya selama masih ada orang mukmin,
kita dilarang mengambil orang kafir sebagai pemimpin, karena orang-orang kafir
merupakan musuh-musuh Allah dan juga musuh bagi orang yang beriman. Sangat
mustahil apabila orang-orang kafir kita jadikan pemimpin akan memberikan
manfaat kepada kita, justru mereka senantiasa berusaha untuk mencelakakan orang
mukmin.
Larangan Allah kepada kita untuk menjadikan orang-orang kafir terdapat di
dalam Al Qur’an, antara lain:
a.
Surat Ali Imran, 3:28
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
(Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin,
pelindung atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali
(mu).
b.
Surat Ali Imran, 3:118
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
c.
Surat Ali Imran, 3:149
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir
itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu
jadilah kamu orang-orang yang rugi.
d.
Surat An-Nisaa, 4:138-139
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan
yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi
teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka
mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan
Allah.
e.
Surat Al Bara’ah, 9:23
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudara mu menjadi wali (mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim
Akibat Memilih orang Kafir Menjadi Pemimpin, menurut Al Qur’an antara
lain:
a.
Lepas dari pertolongan Allah;
b.
Akan mendapatkan siksa Allah;
c.
Akan memperoleh kemudharatan;
d.
Akan membuat orang yang beriman menjadi susah;
e.
Akan mengembalikan kita kepada kekafiran;
f.
Merugikan orang-orang yang beriman;
g.
Termasuk golongan orang munafik;
h.
Termasuk orang-orang yang zalim
3.
Karakter Pemimpin Islam
Karakter pemimpin Islam yang utama adalah sebagaimana sifat-sifat yang
dimiliki Rasulullah Saw, yaitu siddiq (benar), amanah (dapat dipercaya),
tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas). Di samping itu, Al Qur’an juga
memberikan rambu-rambu tentang karakter pemimpin Islam yang baik, antara lain:
a.
Orang yang dalam kehidupannya selalu menempuh jalan
yang ditetapkan Allah untuk dirinya dan para pengikutnya, tidak mau mengikuti
selain jalan-jalan yang telah ditetapkan Allah, yaitu dalam Al Qur’an surat Al
An’am, 6:153
b.
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.
c.
Orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual
beli (termasuk dalam segala aktivitasnya) dari mengingat Allah, mendirikan
shalat, dan membayar zakat (QS An Nur,
24:37)
d.
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan
tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan
shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di
hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
e.
Konsisten, sesuai antara perkataan dan perbuatan,
karena Allah sangat murka kepada orang yang ia katakan, tetapi ia sendiri tidak
mengerjakannya, (QS Ash Shaff, 61:2-3):
f.
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
g.
Beriman, bertakwa kepada Allah dengan
sebenar-benarnya dan senantiasa berpegang teguh pada agama Islam, berserah diri
kepada Allah hingga akhir hayatnya (QS Ali Imran, 3:102):
h.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam.
i.
Senantiasa berpegang teguh pada Islam, dan menjaga
persatuan dan kesatuan (QS Ali Imran, 3:103): Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka,
lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
j.
Menggerakkan dan memantapkan organisasi, dengan
membentuk kelompok umat dakwah amar ma’ruf nahu mungkar (QS Ali Imran, 3:104):
k.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Mampu mempengaruhi dan menggerakkan pengikutnya di mana saja untuk
senantiasa berlomba-lomba dalam hal kebaikan sesuai dengan keterampilan dan
kemampuan yang mereka miliki (QS Al Baqarah, 2:148):
Komentar
Posting Komentar